Sabtu, 31 Desember 2011

Bendera di hari 17

hai ... hai ... hai ...
para pecinta dunia khayal, akhirnya setelah sekian lama, Moe mulai nulis cerpen lagi, well, walaupun novel Moe masih belom kelar, semoga cerpen ini bisa mengobati rasa penasaran kalian sama karya Moe ... ok ok ok, selamat menikmati ... huhu ...

Sh@

Jo menggandeng tangan adiknya, menuntunnya pelan, mereka hendak pergi untuk mengamen, kedua anak yatim piatu ini hanya hidup berdua, adik Jo, Nela baru berusia enam tahun, meski tak pernah sekalipun mengecap bangku sekolah karena sejak umur tiga tahun ia sudah ditinggal oleh kedua orang tua mereka karena kecelakaan, tak mengurangi rasa kecintaan dan rasa hormat pada negeri ini.

Jo yang pernah merasakan bangku sekolah meski hanya sampai kelas dua SD, sering mengajarkan adiknya membaca, menulis, dan member pengetahuan kepada Nela, bahwa tanah yang ia injak adalah tanah Indonesia.

Hari itu, mereka seperti biasa akan mengamen di perempatan lampu merah, adik Jo sudah merasa tak enak badan dari tiga hari lalu, badannya amat kurus dan pucat, dan sudah tiga hari ini ia tak makan apapun, Jo hanya bisa membelikannya kerupuk dan air putih.

Satu minggu menjelang hari kemerdekaan, semua sekolah sibuk mempersiapkan siswa mereka untuk pawai dan mengikuti upacara, hari senin biasanya semua sekolah melakukan upacara bendera sebelum mulai pelajaran, Jo dan Nela tak sengaja melewati sebuah sekolah SD yang sedang melaksanakan upacara bendera.

“Hormaaaaat, Grak!” teriak sang kapten upacara, Nela mendadak menahan tangan Jo, menatap ke arah Jo, seolah mengerti Jo akhirnya menghentikan langkahnya, mereka berdua ikut menghormati sang merah putih yang sedang di kibarkan.

Nela merasa masgyul, matanya berkaca-kaca, ia ingin mengibarkan sang merah putih dengan kakaknya di hari peringatan kemerdekaan yang merupakan hari ulang tahunnya, ia akan sangat bangga kalau hari itu ia bisa mengibarkan sang merah putih dengan tangannya.

Setelah upacara selesai, mereka melanjutkan kembali perjalanan mereka, di tengah perjalanan Nela mengungkapkan keinginannya mengibarkan bendera di hari ulang tahunnya kepada Jo. “Mas, aku ingin mengibarkan bendera sendiri di tanggal 17 nanti.” Kata-kata polos yang keluar dari mulut gadis kecil, Jo tersenyum arif. “Insya Alloh, mas usahakan Nela bisa punya bendera sendiri untuk dikibarkan.”

“Beneran mas?. Nela bisa ngibarin bendera di ulang tahun Nela.” Nela merasakan percikan kebahagiaan itu sekarang, membayangkan dirinya berdiri di tiang bendera buatan kakaknya, mengibarkan dan memberi hormat kepada sang merah putih.

Sh@

Untuk anak usia 10 tahun, Jo sudah melewati banyak hal berat, namun satu yang menjadi alasannya untuk terus bersabar menghadapi kerasnya hidup, Nela, adik kecilnya yang amat ia sayangi.

Terkadang ia merasa sangat bersalah ketika ia pulang dan tak bisa membawakan Nela makanan, membelikan baju baru, atau sekedar minuman soda kesukaan Nela.

Nela tak banyak meminta, ia akan menerima apa yang diberikan oleh kakaknya, tak pernah mengeluh jika ia lapar atau sakit, ia akan tersenyum kepada kakaknya dan mengatakan bahwa dia tidak apa-apa.

Untuk pertama kalinya, Nela meminta hadiah kepadanya, hadiah sederhana yang sangat berharga bagi Nela, dan Jo akan berusaha untuk mendapatkannya.

Sh@

Hari ini, Jo berangkat mengamen sendirian, Nela sedang sakit, badannya panas, sebenarnya ia tak tega untuk meninggalkan Nela sendirian tapi Nela bersikeras untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak apa-apa. “Udah sanah, Mas berangkat saja, nanti malah rejekinya dipatok ayam lagi.”

Akhirnya ia berangkat ngamen, setelah mewanti-wanti Nela ini dan itu.

Jo, mengamen tidak hanya di perempatan lampu lalu lintas saja, dia mencoba untuk mengamen di toko-toko atau pun dari rumah ke rumah, ia ingin mendapat lebih banyak uang untuk membeli bendera, beruntung ia mendapat uang lebih untuk membelikan Nela obat.

Mencari uang dengan mengamen di kota berkembang sangat sulit, kebanyakan toko-toko hanya melambaikan tangan dan menyuruhnya pergi, di perempatan lampu lalu lintas, para pengendara motor akan menurunkan kaca helm mereka dan berpaling ke arah lain, pengendara mobil pun sama, mereka akan merapatkan kaca mobil mereka dan melambaikan tangan mereka, hanya satu atau dua orang saja yang mau memberinya uang logam, yang lainnya ada yang berceloteh kasar. “Sekolah yang benar, jangan jadi tukang minta-minta, bekerja itu tanggungan orang tuamu, dasar pemalas.”

Di katai seperti itu, Jo hanya tersenyum sambil mengangguk hormat dan meninggalkan orang itu.

Sh@

Panas terik memanggang tubuh kurus Jo, ia hendak menunaikan sholat dhuhur di masjid di daerah stasiun timur, ia mengeluarkan bungkusan kresek berisi baju koko dan sarung lusuh satu-satunya yang selalu ia bawa, membersihkan dirinya di kamar mandi masjid.

Selesai menunaikan kewajibannya, Jo melanjutkan kembali rutinitasnya mengamen.

Baru saja ia hendak keluar dari masjid, seorang penjaga masjid memanggilnya.

“Bapak memanggil saya?” Tanya Jo ragu kepada bapak setengah baya yang sudah berada di depannya.

“Ini ada makanan lebih, kebetulan saya kebagian dua bungkus nasi untuk makan siang.”

“Ta, tapi pak …” Jo ragu untuk mengambil bungkusan yang disodorkan oleh bapak itu, ia tak pernah sekalipun menerima sesuatu dengan percuma, ia selalu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu.

“Ambil saja, nggak usah ragu, rejeki buat kamu.”

Jo menatap orang itu, ragu untuk menerima bungkusan itu, dalam pikirannya berkecamuk, ini makanan halal dan ia bisa memberikan makanan itu untuk Nela, ia membutuhkannya.

“Terima saja nak, Insya Alloh, bapak ikhlas.” Sambil memberikan bungkusan makanan itu kepada Jo.

“Terimakasih banyak pak, terimakasih.” Jo sungguh merasa sangat bersyukur, karena Nela akhirnya bisa makan nasi untuk pertama kalinya setelah satu minggu ini ia hanya makan kerupuk terkadang roti bungkus yang di bagi berdua dengannya. “Alhamdulillah ya Allah.”

Dalam perjalanan pulang, Jo melihat ada penjual bendera, satu minggu menjelang hari peringatan kemerdekaan, banyak penjual bendera dadakan.

Jo teringat akan Nela, ia melihat uang yang sudah ia dapat hari ini, menggenggamnya erat dalam genggamannya.

“Mas, boleh tahu harga benderanya berapa?” Tanya Jo ragu-ragu.

“Yang mana?” Tanya sang penjual ketus.

“Yang itu mas, yang biasa di pakai untuk di kerek di tiang bendera mas.” Kata Jo menunjuk ke arah bendera yang dimaksud.

“Duapuluh ribu.” Katanya acuh sambil meladeni pembeli lain sambil berkata sangat manis dan sopan. “Oh, yang ini kualitas bagus pak, di jamin awet, murah lagi, cuma tiga puluh lima ribu pak.”

Jo hanya menggeleng kepala sambil berlalu pergi, mas penjual bendera itu memang pintar, mencari keuntungan kepada orang kaya yang kebetulan mampir untuk membeli bendera dagangannya.

Jo menghitung uang yang ia dapat hari ini dalam perjalanannya, uang receh yang berhasil ya kumpulkan hari ini. “Lima ribu rupiah, Alhamdulillah, bisa beli obat untuk Nela, jika besok bisa dapat jumlah yang sama, minggu depan Nela bisa mengibarkan benderanya sendiri.”

Sh@

Nela bergumam tak karuan, panasnya tinggi, badannya merasa tak karuan, ia berharap Jo cepat pulang.

Tak lama kemudian Jo pulang, Nela menglela nafas lega. Jo meletakan barang-barang bawaannya, ia mendekati adiknya mengelus rambutnya. “De’.” Bisiknya lembut. “Mas pulang, bangun ya, makan dulu.” Jo mengambil bungkusan nasi yang diberikan penjaga masjid kepadanya.

Nela mengerjap-ejapkan matanya, ia merasa berat untuk membuka matanya, mukanya terasa panas, matanya sedikit perih untuk membuka, badannya terasa sangat berat. Jo yang membantunya untuk bangun, menyenderkannya.

“Makan dulu ya De’, tadi Mas dapat rejeki, dikasih satu bungkus nasi oleh penjaga masjid yang biasa Mas datangi.”

“Mas sudah makan?” Kalimat pertama yang terucap dari bibir mungilnya itu membuat Jo tersenyum arif. “Mas sudah makan.” Kata Jo lembut.

“Bohong, Nela tahu Mas nggak punya duit buat beli nasi, soalnya mas udah beli obat buat Nela, tuh.” Nela menunjuk obat warung yang tergeletak tak jauh dari kakinya. “Kalau Mas nggak makan, Nela juga nggak mau.”

“Iya deh, adik Mas ini ,kok perhatiannya selangit ya, yang lagi sakit juga siapa.” Kata Jo bijak sambil menyuapi Nela.

Nela susah payah mengambil nasi untuk di suapkan kepada Jo, dengan sedikit lemas.

“Habis ini Nela makan obat ya, biar badannya nggak sakit lagi.” Nela hanya mengangguk pelan, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, ia sudah cukup senang bisa makan bersama kakaknya.

Sh@

Besok hari peringatan kemerdekaan, Jo masih belum bisa mendapatkan bendera untuk Nela, sedangkan ia tak tega untuk meninggalkan Nela sendirian, panasnya tak kunjung turun, membuatnya semakin khawatir.

Nela menatap Jo nanar, ia merasa bersalah, kini yang ada dalam pikirannya adalah, Mas-nya ini sedang bingung, memikirkan dirinya yang tak sembuh-sembuh dan memikirkan bendera untuk hadiah ulang tahunnya nanti.

“Mas, benderanya nggak usah nggak apa-apa, masih ada tahun depan, mas nggak usah khawatir.”

“Nggak, Mas harus bisa dapetin bendera itu, karena besok hari istimewa buat Nela dan Negara ini.”

“Kalau begitu mas berangkat aja, Nela nggak apa-apa ditinggal sendiri, toh kalau Nela ikut, Nela akan menyusahkan Mas nanti.”

Nela memang unik, seolah ia bisa membaca pikiran kakaknya, ia tak ingin membuat kakaknyakhawatir berlebihan kepadanya. “Sudah, berangkat sanah, bawa pulang benderanya ya mas.” Nela tersenyum dengan penuh semangat membara dalam dirinya, memberikan kekuatan dan semangatnya kepada Jo.

“Tunggu mas pulang ya.” Jo bergegas pergi, ia tak ingin menyia-nyiakan waktunya, ia membawa uang sepuluh ribu yang sudah ia kumpulkan selama dua minggu ini, ia berharap bisa membelikan Nela bendera.

Sh@

Jo berlari dalam teriknya matahari, se-gerombolan orang sedang mengejarnya, peluh dan keringat mengucur, rasanya ia tak sanggup lagi untuk berlari, namun orang-orang itu semakin dekat, Jo panik, ia tak tahu harus lari kemana lagi, ia masuk ke pelataran masjid di daerah stasiun timur, belum sempat ia bersembunyi, orang-orang itu sudah berhasil menangkapnya.

Sedetik kemudian, Jo merasakan tubuh kecilnya itu di hujam oleh tinjuan dari mereka, sambil meneriakinya dan mencacinya.

Melihat ada keributan, para jama’ah dari dalam masjid berhamburan keluar, ada yang langsung mengambil kamera handphone­-nya untuk merekam kejadian itu, ada pula yang hanya melihat, namun banyak juga yang ikut meneriakinya tanpa tahu apa yang terjadi.

Penjaga masjid yang mengetahui siapa yang sedang dipukuli langsung melerai mereka dan menyeret Jo keluar dari kerumunan. “Ada apa ini, main hakim sendiri di depan masjid, Astaghfirullah, kalian ini punya etika atau tidak ha?” Bentak penjaga masjid itu. “Kau tak apa-apa nak?” katanya kepada Jo yang hanya bisa mengangguk pelan.

“Dia ini pencuri pak, ia mencoba mencuri bendera di rumah bapak ini.” Seorang yang tinggi besar dengan suara parau itu angkat bicara.

“Saya melihatnya mengambil bendera di depan rumah saya.” Kata bapak yang merasa kecurian.

Penjaga masjid itu menatap Jo yang sudah babak belur. “Benar nak, apa yang dikatakan mereka, apa benar?”

Jo menggeleng pelan, ia merasakan mukanya begitu panas dan basah, entah karena keringat atau karena darah yang mengucur dari bekas pukulan mereka.

“Alah, bohong, mana ada maling ngaku.” Seru salah seorang dari balik kerumunan yang memancing keributan.

“Tenang, kita dengarkan dulu penjelasannya, di samping itu, kita berada di masjid, jaga etika kalian.” Kata penjaga masjid itu.

“Saya tidak akan pernah mencuri, demi ALLAH, saya sedang melihat ada seseorang yang hendak mengambil bendera bapak, dan ketika saya tegur ia melemparkan benderanya kepada saya, dan yang saya ingat, saya sudah berlari diteriaki maling oleh kalian.”

“Kalian dengar itu, saya kenal anak ini, dia sering ke masjid ini untuk sholat, dan setahu saya, dia tak pernah sekalipun meminta, apalagi mencuri. Jadi lebih baik kaliah bubar, urus saja urusan kalian.” Penjaga masjid itu membawa Jo ke rumahnya yang berada persis disebelah masjid, meninggalkan kerumunan yang perlahan bubar dengan keluhan mereka karena tak puas dengan hasil yang didapat.

“Kau tak apa-apa nak, istirahatlah dulu disini, istri bapak akan merawatmu.”

“Saya tidak apa-apa pak, saya harus pulang, adik saya di rumah sendirian.”

“Sebenarnya apa yang terjadi nak?” Tanya penjaga itu.

“Bapak juga nggak percaya sama saya?, saya tidak akan pernah mencuri, saya hanya sedang bingung, dengan uang sepuluh ribu ini, saya tidak bisa membelikan adik saya bendera.”

“Bendera?”

“Besok adalah ulang tahun adik saya, dia ingin bisa mengibarkan bendera untuk Negara ini, ia ingin merayakan ulang tahunnya yang bertepatan dengan hari kemerdekaan.” Jo menghela napas dalam. “Untuk sesaat saya berfikiran untuk mengambil bendera itu, tapi saya urungkan karena saya masih memiliki Iman dalam hati saya.”

“Istirahatlah nak, besok pagi baru kamu bisa pulang.” Kata penjaga masjid itu.

“Tapi adik saya sendirian, dan dia sedang sakit pak.”

“Tunggu sampai besok pagi, bapak yakin dia baik-baik saja.”

Sh@

Nela menggigil dan mengigau memanggil-manggil nama kakaknya, suhu tubuhnya semakin meningkat, ia merasakan sakit disekujur tubuhnya.

Nela terisak dalam gelap, ia hanya bisa berdoa agar kakaknya baik-baik saja, ia meraih obat yang di belikan sebelum Jo pergi, menggigit sepotong roti lalu memakan obatnya.

Ia merasa sedikit lebih baik, badannya sudah tak terlalu menggigil, namun sakit ditubuhnya masih ia rasakan.

Sh@

Pagi harinya, Jo bergegas pamit kepada Pak Burhan, ia amat berterima kasih atas kebaikannya. Namun sebelum Jo pergi, Pak Burhan memberikan sebuah bungkusan.

“Ini untuk adikmu, bilang hadiah ulang tahun dari Pak Burhan.” Pak Burhan penjaga masjid itu tersenyum arif.

Jo membuka bungkusan itu, sebuah bendera merah-putih yang Nela harapkan. “Te … Te … Terimakasih banyak pak.” Jo merangkul Pak Burhan seraya menangis haru.

“Ya sudah, pulanglah, adikmu menunggumu.”

Setelah mengucapkan terimakasih berulang-ulang, Jo berlari sekuat tenaga, ia tak perduli seberapa capai kakinya berlari, ia ingin cepat sampai di rumah kadus-nya.

Dadanya membuncah karena rasa senang, akhirnya ia bisa mendapatkan hadiah bendera di hari 17 untuk Nela.

“Nela, Nela.” Jo berlari masuk ke rumah kardusnya dengan penuh senyum yang kemudian berganti dengan wajah khawatir. Nela tergujur lemas, sangat lemas, Jo memegang tangan Nela lembut. “Mas sudah pulang?” Tanya Nela dengan suara parau.

Jo mengangguk pelan, mengambil bendera yang tadi dibuangnya ke lantai. “Mas dapat benderanya, kita kibarkan bersama-sama yuk.”

Nela mengangguk pelan, setelah mengganti bajunya, ia dibantu oleh Jo keluar dari rumah untuk mengibarkan bendera bersama.

Jo menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh haru, alam seolah mengerti, angin lembut menggoyang bendera ditiangnya.

Jo berdiri tegap menghadap bendera dengan bangga, Nela bersandar dibahunya, meski sangat sulit untuk berdiri, ia tetap berusaha untuk memberi penghormatan kepada sang saka.

Sedetik kemudian, Nela merasa tubuhnya begitu berat, ia tak kuasa untuk menahannya untuk tetap tegak, ia limbung dan jatuh ke tanah. Jo dengan sigap menangkapnya, memberikan sisa kekuatan yang ia punya ke pada adiknya. “Terimakasih Mas udah kasih Nela hadiah yang indah di hari 17.”

Jo menggeleng, matanya berurai air mata, ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada adiknya. “Jangan tinggalin Mas, Nela.”

“Nela nggak kemana-mana mas, Nela selalu ada di samping mas, di sini.” Kata Nela sambil menunjuk ke dada Jo. “Nela sayang … Mas.”

Kata-kata terakhir yang menyayat hati Jo, Nela pergi meninggalkannya, gerimis turun dari awan mendung, alam ikut bersedih akan adegan yang menyayat hati dari dua anak manusia itu.

“NELAAAA.”

Sh@

The End

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas saran dan kritik yang membangun...terus simak kisah seru dari dhyvha_nAiNi ya....(^0^)V

 
Copyright 2009 Welcome to Cucuran Hati. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemesfree