Sabtu, 28 November 2009

sEbuAh kAta yAnG hILaNg ePs.03

Sh@
“Kamu ini, datang bukannya bawa oleh-oleh yang enak-enak dan bagus-bagus. Ini malah kena luka begini, kamu ini habis main dimana sih.” Gerutu om Sebastian.
“Udah deh om, tadi Ai kesandung batu.” Ai tak mau kalah.
“Iya deh, ponakan om yang satu ini galak banget sih.” Sambil mencubit hidung Ai gemas.
“Auw,,,, Sakit tau om. Udah ah Ai mau pulang, capek.”
“Ngambek niy.” Goda om Sebastian.
Ai tak merespon godaan omnya itu, ia benar-benar pergi. Bukan karena ngambek, tapi karena ia merasa badannya diserang oleh rasa capai yang tak bisa ia tahan lagi.
“Yah, kok pulang siy. Ya udah deh, tapi masa langsung nyelonong gitu ajah. Salam nya mana.”
Dengan sedikit lemas, Ai mencium pipi omnya dan segera berlalu pergi. Dalam perjalanan pulang Ai tertidur pulas, rupanya ia benar-benar kelelahan. Ai terlalu memaksakan diri untuk bertemu dengan sang om, meski ia tau kondisi badannya tidak memungkinkan, karena Ai merasa omnya adalah pengganti papanya yang selalu sibuk dengan bisnisnya. Jadi tak heran kalau Ai sangat dekat dengan om Sebastian.
Setibanya Ai di rumah, tak seorangpun di sana, hanya ada para pembantu. Kata para pembantu mama Ai sedang pergi shoping ke Malaysia, papanya sedang ada perjalanan bisnis ke London. Ai sudah menduga sebelumnya, maka dari itu ia tak ambil pusing dan langsung menuju ke kamar tercintanya dan tertidur pulas.
Sh@
Nina merasa menemukan kembali bagian yang telah lama hilang dari dirinya, ia merasa hidup. Sebelumnya tak pernah ia merasa semangat yang membara untuk bekerja, semenjak ia berkenalan dengan gadis kelas tiga SMA itu hidupnya merasa berwarna.
Mendengar candanya, melihat keceriaannya, ke jailannya semua itu mirip dengan adik kecilnya. Nina merasa kian dekat dengan Ai, namun ia agak curiga kepada Ai. Karena bagi orang sehat, apa alasannya sering ke rumah sakit. Nggak mungkin hanya karena ingin bertemu dengannya atau dengan om nya, Nina jadi berfikir apa gerangan alasan Ai sering datang kerumah sakit?
Sh@
Jason Pramono, eksekutif muda yang amat setia dan mencintai Nina. Seorang pekerja keras, serius dan nggak romantis. Namun itulah yang membuat Nina jatuh hati kepadanya, sosok yang misterius, ganteng dan mengagumkan.
Dengan penampilan yang selalu rapih, dengan stelan jas putih, celana puth dan sepatu putih, dasi merah bergaris, begitu serasi dan tidak ketinggalan, kacamata minus yang selalu nangkring di batang hidungnya. Hari itu Jason mengenakan setelan kesukaannya, serba putih menandakan sebuah kesucian hati.
Ia menunggu dengan sabar di depan rumah sakit, hari itu Jason sengaja membatalkan semua janji dengan kliennya, hari itu ia ingin mengajak Nina makan malam karena hari itu merupakan hari jadi mereka. Sebelumnya Jason nggak pernah ingat, namun karena merasa malu kepada Nina yang selalu memberinya kejutan-kejutan manis di setiap hari jadi mereka, maka hari itu secara khusus ia datang dengan membawa bunga yang telah dipesan oleh sekretarisnya, maklum Jason nggak tau bunga apa yang disukai oleh wanita pada umumnya, karena itulah ia meminta tolong sekretarisnya untuk memilih bunga yang kini ada di genggamannya.
Nina sangat terkejut dengan pemandangan di depannya, Jason menjemputnya dengan rangkaian bunga mawar ditangannya. Ia tersenyum manis, merasa takjub dengan pemandangan yang ada.
Jason senang dengan respon itu, respon senyuman yang selalu membuatnya terpesona. Bagi Jason, Nina terlihat cantik ketika ia tersenyum. Karena sebuah lesung pipit yang indah akan menghiasi pipi manisnya, begitu menawan dan alami.
Jason mendekat, memberikan rangkaian bunga yang ia bawa.
“Happy Anniversary dear.” Sambil mencium pipi Nina mesra.
“Kamu inget?” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Nina.
Dengan sabar Jason menjawab dengan lembut. “Iya dong, masa iya lah.” Gurau Jason.
“Udah deh, jangan kaget gitu. Mending kita pergi dinner yuk.” Ajak Jason.
“Tapi aku belum ganti baju.” Rajuk Nina.
“Nggak pa-pa, aku udah bawain gaun buat kamu.” Sambil membukakan pintu mobil untuk Nina.
“Siap.” Tanya Jason kepada Nina.
Nina mengangguk pelan tanda setuju.
“Ok, berangkat.” Seru Jason bersemangat.
Mobil sedan metalik itu berlalu meninggalkan tempat parkir dengan kecepatan sedang menuju ke rumah makan tempat mereka akan makan malam.
Sh@
“OK, perkembangan kesehatan kamu cukup baik. Tapi inget kamu masih tetep harus minum obat, nggak boleh capek-capek.” Kata dokter Sebastian ringan, terkesan tak ada beban disana, dokter Sebastian sengaja untuk menutupi hal yang sesungguhnya, namun ia lupa jika pasiennya kini adalah keponakannya yang cerdas dan tak dapat di bohongi, karena Ai tahu akan resiko dari penyakit yang dideritannya.
“Udah deh om, kalau mau ngomong Ai mati sebentar lagi, ya ngomong ajah. Nggak usah di tutup-tutupin, memangnya Ai ini anak kecil yang polos yang masih bisa di bohongi.” Ai tersenyum pahit.
“Penyakit mu ini jenis leukemia tingkat akut Ai, harus ada donor sumsum agar...”
“Nggak usah om, ngrepotin orang ajah.” Jawab Ai singkat tanpa beban karena telah memotong pembicaraan omnya.
“Ai!!! Om serius.” Tegas omnya.
“Ai juga serius om, bukannya Ai nggak mau. Tapi Ai udah tau, kalau peluang hidup cuma sedikit.”
“Ai.”
“Udah ah om, Ai capek nggak mau bahas ini lagi. Kalau udah saatnya mau gimana lagi.”
“Kok kamu jadi putus asa gini, kita bisa berobat ke luar. Om mengakui peralatan medis di sini belum terlalu canggih.”
“Om!! Peralatan disini sudah sama canggihnya dengan luar negeri, waktu Ai study di Ausi, Ai konsultasi dengan dokter disana. Dan memang sudah nggak tertolong lagi.”
Om Sebastian menghela nafas, susah kalau berdebat dengan keponakannya ini. Matanya mulai terasa panas, hatinya perih. Ia tak ingin seperti ini, ia ingin menyembuhkan keponakan kesayangannya, om Sebastian terduduk lemas di kursi dokternya.
“Om.” Ai mendekat sambil memegang pundak omnya pelan. “Ai sayang om, Ai sayang semuanya yang sayang Ai. Dan Ai ingin, om bersikap biasa, jangan antar Ai dengan tangisan om, tapi antar Ai dengan senyum dan doa.”
“Ai.” Om sebastian lemas, ia merasa sangat tak berguna, tak bisa melawan penyakit ini.
Ai duduk di depan meja dokter Sebastian, ia memandangi omnya yang lemas. Baru pertama kali ia melihat omnya begitu sedih, sebelumnya om Sebastian selalu terlihat tegar dan selalu menghiburnya.
“Om, tentang keluarga kandung Ai. Ai pengen ketemu, om udah ada kabar?”
Sh@
tobe continue to eps. 4 ...................
simak terus ceritanya ya....jangan lewatkan dan jangan lupa kasih komen....
terima kasih... ^^

Senin, 16 November 2009

sEbuAh kAta yAnG hILaNg ePs.02

Sesampainya di rumah sakit Nina langsung menuju poli anak tempatnya bekerja, baru selangkah ia masuk ruangan semua mata tertuju padanya, Rizka sahabatnya memberi kode tanda bahaya. Nina mengangguk pelan sambil menelan ludahnya, ia sudah terlambat untuk kesekian kalinya dalam bulan ini, dan dokter Frizka pasti akan menegurnya dengan keras kali ini.

Ia mulai memasuki ruang kerjanya untuk mengganti baju seragamnya, sekilas ia melihat dokter Frizka lewat di depan ruang tempat Nina menukar bajunya. Dokter Frizka tak menoleh, tampaknya ia sedang sibuk, terdengar dari tegasnya ia memerintar para susternya untuk bergegas.

Sh@

Nina salah menduga jika dokter Frizka akan menegurnya, ia malah menyuruh Nina untuk menjadi asistennya di opersi kecil yang dilakukan pagi tadi, tak terlihat sedikitpun di wajah dokter Frizka berniat untuk menegurnya. Hari itu dokter Frizka begitu konsentrasi dengan pasien-pasien kecilnya.

Sh@

Nina termenung memeluk kedua kakinya dan menaruh dagunya di lututnya, matanya menatap kosong kearah televisi ia sama sekali tak menyimak acara yang sedang diputar, malam itu ia tak ikut makan malam, bu Arin cemas dan mendekatinya untuk bertanya kepada putri terkasihnya itu.

“Kamu kenapa nak, mama perhatikan akhir-akhir ini kamu sering merenung. Wajahmu murung, ada apa sayang? Cerita dong sama mama.” Bu Arin mengelus rambut Nina penuh kasih.

“Nggak pa-pa ma, Nina cuma inget sama ade’. Dan tiap kali Nina inget, rasa bersalah Nina bangkit dan semakin dalam.” Nina meletakkan kepalanya ke pangkuan bu Arin.

“Sudahlah nak, itu masa lalu. Dan itu semua bukan salah mu, kejadian itu merupakan kecelakaan.” Bu Arin menenangkan dengan kelembutannya.

“Ma, apa ade’ masih hidup? Apa ade’ baik-baik aja?” Nina mulai terisak.

“Nina! Listen to me, mama nggak pernah menyalahkan siapapun, mama nggak pernah menuntut kamu atas kesalahan yang sama sekali tidak pernah kamu lakukan. Mama sayang sama semua anak mama, jadi sayang, jangan lagi kamu menyalahkan diri kamu sendiri nak, dan mama yakin. Di mana pun adik kamu berada, ia pasti baik-baik saja.”

Nina menelungkupkan kepangkuan sang mama dalam, ia terisak, ia curahkan emosi hatinya dengan menangis di pangkuan sang mama. Malam itu Nina benar-benar menumpahkan segala beban dirinya, ia merasa benar-benar lega. Namun karena menangis semalaman akibatnya, keesokan harinya ia berangkat kerja dengan mata bengkak.

Sh@

Aima Nur Safitri, 18 tahun, cerdas, lincah, energik, supel, pandai merayu dan manis. Keponakan tersayang dari dokter Sebastian, baru pulang dari Australia. Ai biasa ia dipanggil, merupakan anak pintar di sekolahnya, ia baru selesai mengikuti pertukaran pelajar SMA di Australi selama 2 semester. Setibanya si air port ia langsung ngacir ke rumah sakit tempat om tercintanya bekerja, meskipun lelah melekat di tubuhnya tidak ia hiraukan, pantang baginya pulang sebelum bertemu dengan omnya. Ia menelpon omnya untuk tidak pergi sebelum ia sampai, ia benar-benar sangat rindu dengan omnya, om yang memanjakannya dari kecil dan mencurahkan perhatian juga kasih sayang melebihi orang tuannya yang sibuk dengan bisnis.

Sh@

Jam istirahat makan siang, Nina yang tidak terlalu sibuk siang itu berinisiatif untuk pergi ke kantin rumah sakit, karena siang itu ia merasa benar-benar kelaparan. Ia melewati dua ruangan untuk menuju ke kantin, ruang dahlia dan ruang cempaka. Diantara ruang dahlia dan ruang cempaka ada sebuah taman yang menghubungkan kedua ruangan tersebut, di tengah-tengah taman itu ada sebuah jalan setapak dari semen yang memang sengaja dibuat. Nina dari ruang cempaka melewati jalan setapak itu untuk menuju ruang dahlia, setelah itu ada dua gang dan satu lorong panjang, di ujung lorong ada dua cabang, kanan ke kantin dan kiri menuju poli penyakit dalam.

Nina berjalan agak tergesa, karena perutnya sedang tidak ingin di ajak kompromi dan segera ingin diisi dengan makanan. Ia lewati lorong terakhir menuju kantin, ia agak mempercepat langkahnya, ketika ia berbelok ke arah kantin ia sedikit cerobih dan.....GUBRAK!!!

Ia menabrak seorang gadis berlia, yang agak sedikit marah karena kecerobohan Nina.

“Aduh, maaf de... saya nggak sengaja.” Nina meminta maaf sambil membantu gadis itu berdiri.

Gadis berambut pendek sebatas leher dengan mengenakan kaus katun dan celana jeans itu nyengir kesakitan, sikunya berdarah karena insiden itu. Ia berdiri sambil memegangi siku yang ia rasa sakit.

“Lain kali lebih berhati-hati ya mbak.” Gadis belia itu menasehati.

Nina hanya mengangguk sedih, karena merasa bersalah akan luka yang di terima gadis belia itu, Nina menawarkan untuk mengobatinya, namun gadis itu menolak dengan halus.

“Nggak usah mba, biar luka saya diobati sama om saya saja.” Katanya dengan nada ceria.

“Lho, om kamu kerja di rumah sakit ini juga?” tanya Nina heran.

“Iya, dokter Sebastian dari poli penyakit dalam.” Gadis itu menjelaskan.

“Oh.....ya saya kenal dengan dokter Sebastian, dulu saya pernah jadi asistan dokter Sebastian sebelum saya pindah ke poli anak.”

“Kalau begitu saya permisi dulu ya mbak.” Pamit gadis belia itu.

“Sebentar, kita belum kenalan.” Cegah Nina.

“O..iya.” sambil mengulurkan tangan “Aima, tapi mbak bisa panggil saya Ai aja.” Ai memperkenalkan diri.

“Nina, senang berkenalan dengan mu Ai. Maaf atas kejadian tidak menyenangkan ini ya” kata Nina tulus.

“Iya nggak papa kok kak, udah biasa terjadi. Eh....nggak pa-pa kan Ai panggil kakak, biar akrab ajah.” Tegas Ai tanpa beban.

Nina agak sedikit kaget, Nina agak kikuk dengan sebutan itu. Karena telah lama kata itu tak ia dengar, karena telah hilang bersama hilangnya adiknya.

“Kak....??? Kak Nina?” tegur Ai.

“Eh iya...nggak pa-pa kok.” Nina tersadar dari lamunanya.

“Ok deh, sampai jumpa lagi ya kak Nina.” Ai berlalu meninggalkan Nina.

Nina lalu berbalik untuk kembali ke ruangannya, kini ia tak lagi merasa lapar. Rasa itu tiba-tiba saja lenyap, menguap begitu saja semenjak pertemuannya dengan Aima tadi. Entah mengapa ia merasa nyaman dengan sebutan yang di beri oleh Ai, “Kakak”. Sebuah kata yang telah lama hilang dan nyaris tak pernah ia dengar, dalam perjalanan pulang pun ia masih terus memikirkan pertemuannya yang tiba-tiba dengan Ai, apakah ini sebuah pertanda atau....???,,, ah ia tak ingin menerka-nerka hal yang ia tak tahu pasti apa maknanya. Ia takut jika angan-angannya itu akan berakhir buruk, angan-angan untuk menemukan sebuah kata yang telah lama hilang.

Sh@

to be continue to eps 3.........

terus ikuti kisah serunya.........jangan lewatin ya.......

 
Copyright 2009 Welcome to Cucuran Hati. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemesfree