Rabu, 20 Oktober 2010

TO BE THE BEST I CAN BE...

menulis adalah sesuatu yang menyenangkan, sesuatu hal yang paling aku sukai...
ketika kita menulis, kita bisa menjadi diri kita sendiri, tanpa berpura-pura di depan orang,,,
kita bisa mencurahkan apapun yang kita rasakan, sakit hati, bahagia, duka, cinta, dan berbagai hal yang membuat hati kita nyaman...
menulis, membaca, berkhayal, dan bermimpi...
membuat ku nyaman, karena ketika berkhayal, aku berada dalam situasi yang aku inginkan...
bermimpi merupakan kata lain dari keinginan, cita-cita, dan ketika aku dalam posisi ini, aku akan berusaha untuk dapat menggapai mimpi itu, meraihnya dan mendapat suatu kebanggaan...
membaca, saat dimana aku mencoba menjadi sebuah karakter yang di ciptakan oleh sang penulis...
merasakan petualangan, kesedihan hingga kebahagiaan sang tokoh cerita...
menulis...
saat dimana aku, menumpahkan segala sesuatu yang selama ini tak pernah berani ku ungkapkan...
menciptakan sebuah tokoh imajinasi sesuai keinginan, menjalani hidup seperti yang ku inginkan dan tak dapat ku realisasikan di dunia nyata...
dan semua itu kemudian dibukukan, dan dikenang dalam memori...

hidup untuk berkarya, lewati hari dengan semangat membara, meski semua mimpi dan khayalan belum terwujudkan, tersenyum menyapa hari, dan menatap penuh keyakinan untuk bangkit...

TO BE THE BEST I CAN BE...

by

moe dhyvha naini

Senin, 11 Oktober 2010

Be your best

terkadang, merasa ingin menjadi bagian dari sebuah dongeng...
menjadi karakter yang kita inginkan...
terkadang, ingin menjadi seorang wizard...
bisa merubah atau mendapatkan yang kita ingin secara cepat...
terkadang, ingin menjadi seorang yang selalu benar dan disukai banyak orang...

but something I learn from this life...
life is not that simple...
we need to try and feel every mistake we make...
and then we can learn to not makes mistake again...

hope for the best to this life...
be your best for your life...

by

Moe dhyvha Naini

Minggu, 25 Juli 2010

Ucapan

hai-hai,,,salam sejahtera untuk semua pecinta dunia khayal....
muph nih dhyvha belum bisa menayangkan cerita terbaru dhyvha,,lagi dalam proses pengerjaan...
sebenernya sih dhyvha lagi mengalami yang namanya sindrom males nulis,,,setiap dhyvha mau nulis dhyvha tiba-tiba ajah ngebleng dan nggak bisa nulis satu patah kata pun...
jadi harap maklum saja iah,,dhyvha belum bisa nyelesein cerita dhyvha....
anyway,,, dhyvha mau kasih ucapan terimakasih buat sobat pecinta dunia khayal yang setia membaca cerita dari dhyvha,,terima kasih juga atas masukan dan caci maki dari kalian,,itu sangat di butuhkan oleh dhyvha....
sekali lagi terima kasih....doakan supaya dhyvha bisa menyelesaikan cerita dhyvha iah...

semangad dan terus berjuang....
salam penulis,,,

by

dhyvha_naini

Sabtu, 19 Juni 2010

NOVEL PERTAMA ANE NIH

HANYA SEBATAS MIRIP...

Tes...tes...ehheem...
hai-hai...lama juga ya nggak berbincang dan berbincong hehe....
oya, dhyvha lagi coba nulis novel pertama dhyvha nui,, sebenarnya ci novel ke dua, tapi berhubung novel pertama ane ilang, alias raib entah kemana,hehe, jadi novel dhyvha yang ini jadi novel pertama ane deh... semoga saja bisa menghibur kalian para pecinta dunia khayal...
iya deh, dhyvha ngerti,, udah pada penasaran ya,, sabar...sabar...nih dhyvha kasih sinopsisnya..
eeiiitt,, tapi dikit aja ya,, jangan banyak-banyak,,ok...iya,,tenang,,nanti kalo udah selese juga dhyvha bagi semuanya,,jangan khawatir, don't worry be happy,,hehe...
silahkan menyimak...

Sh@
cerita ini adalah fiktif belaka, mohon maaf apa bila ada kesamaan nama, watak, perawakan, sifat,,emm apalagi ya..pokoknya itudah...bukan merupakan kesengajaan lho...
anggap saja sebagai sebuah kebetulan yang mirip,,hehe..ini dia persembahan dari

Kelsy seperti bernostalgila eh bernostalgia, ia menyusuri kembali jalan masa lalu yang sering ia lalui dulu. Berbagai kekonyolan dan keriangan masa SMPnya seperti terulang lagi, ia dapat melihat seorang Diva sedang asik berlarian bersama seorang sahabat kecilnya Lala. Ya dulu ia adalah seorang Diva, yang saat itu ia sama sekali tak mengenal siapa jati dirinya yang sesungguhnya, ia jalani hari-harinya dengan kekosongan akan masa lalu. Sampai akhirnya datang seseorang yang ia kira ia kenal, seseorang yang ia rasa sangat dekat, yang ia harap bisa mengembalikan ingatannya yang telah hilang. Namun ternyata ia salah, setelah kecelakaan kecil itu Kelsy bisa mengingat semuanya, ia ingat dengan jelas tiap jengkal dari masa lalunya dan tentang dia, dia yang ia kira sangat ia kenal ternyata tak ada di masa lalunya, dia hanya memiliki wajah yang sama dengan masa lalunya, ya, hanya sebatas mirip saja.

Tapi sayang, ketika ia menyadarinya sebuah kesalah pahaman telah menjauhkannya dari seseorang itu. Ia kira, ia bisa mengatasinya namun hingga kini, kesalah pahaman itu tak pernah terselesaikan.

Sh@

gimana?..

hmm...belum jelas ya,,masih ngambang? iya dhyvha juga tau,,namanya aja sinopsis..

baru gambaran umum....harap sabar ya...

nanti kalo udah selese semua dhyvha pasti bagi ke kalian para pecinta dunia khayal,,jangan kuatir,,

ya,,semoga ini menjadi novel pertama yang buagus,,amin...

dan semoga kalian suka dan semakin cinta dengan dunia khayal...

mohon dukungan serta doanya ya...

dhyvha ucapin muakasih buanyak atas perhatian kalian yang selalu membaca kisah dari dhyvha,,tapi yang terpenting adalah,,caci maki dari kalian,, biar dhyvha bisa menyajikan kisah khayal yang lebih bagus dari karya dhyvha sebelum-sebelumnya...

ok deh,,berhubung dhyvha udah bingung mau ngomong apa lagi..

pesen dhyvha, tetaplah berkreatifitas, jangan pantang menyerah, bermimpilah setinggi langit, asal jangan sampe jatoh ya,,sakit soalnya hehe...

yaudah deh,,ditunggu aja novel dhyvha,,semoga bisa cepet selese ya...
dadah...
salam penulis..
by
(^0^)v
dhyvha_nAiNI

sEbuAh kAta yAnG hILaNg (full episode )

cerita ini adalah fiktif belaka,, mohon maaf apa bila ada persamaan wajah, nama, karakter serta tingkah laku dengan kalian,,hehe...
singkat kata aja deh,,selamat membaca,,jangan lupa kasih komen ya..
terima kasih atas perhatiannya...
oya hampir lupa,, terus simak kisah-kisah seru dari
Sh@
Bocah itu memanggil-manggil nya, meneriakkan namanya meminta tolong. Semakin nyata, semakin membuat rasa bersalahnya semakin besar, ia mencoba menarik tangannya dengan erat, seluruh tenaga ia kerahkan, ia merasa tanganya semakin licin, pegangan tangannya meregang, bocah itu kini semakin panik dan terus berteriak dengan penuh ketakutan. Namun ia tak bisa mempertahankan bocah itu, genggaman tangannya semakin licin, ia berusaha lebih keras untuk tetap mempertahankan tapi tangan bocah itu merosot cepat dari tangannya, ia hilang kendali, mencoba meraih tangan bocah itu namun tak bisa, bocah itu jatuh ke dalam sungai yang curam dan hilang dibawa arus yang deras, dan teriakan bocah itu menggema ditelinganya, semakin keras, semakin dekat, semakin tajam.
“Kakak, tolong aku kak. Kakak.”
Nina terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu, keringat bercucuran, jantungnya seolah berdetak lebih kencang dari biasanya. Akhir-akhir ini mimpi itu terus datang dan seolah-olah menginginkan sesuatu yang Nina tak bisa mengartikannya. Ia menyingkapkan selimut tebalnya hendak mengambil segelas air putih, sekembalinya dari dapur ketika menaruh gelas di meja kecil didekat tempat tidurnya Nina terpaku melihat foto dirinya dengan bocah yang ada di dalam mimpinya itu, ia ambil dan ia usap, sedikit lengket dan berdebu.
“Syla.” Bisiknya lirih.
Sh@
Kring!!!!!!!
Alarm jam berdering keras di dekat telinga Nina nyaring, dengan malas ia mematikan dan melihat pukul berapa.
“GAWAT!!” Pekiknya. “Aku kesiangan lagi.” Ia beranjak ke kamar mandi dengan tergesa.
Sh@
“Sarapan dulu Na.” Kata Mamanya.
“Iya ma, nanti Nina sarapan di Rumah Sakit aja.” Sambil mencium pipi dan tangan mamanya.
“Kamu ini, nanti kamu lupa kalau sudah asyik dengan pasien-pasien mu itu.” Oma Nina menimpali.
“Oma, Nina janji deh nanti beli sarapan di jalan ok, Nina udah telat nih. Nina berangkat dulu semua.”
“Hati-hati nak.” Pesan mamanya.
“Itu anak kebiasaan deh Rin, bangun telat terus.” Oma sedikit mengeluh.
“Nggak tiap hari Ma.” Bela Mama Nina.
“Iya mama tahu Arin, tapi akhir-akhir ini Nina sering bangun telat, Mama khawatir Rin.”
“Iya Ma, Arin perhatikan emang udah dua minggu ini Nina sering telat berangkat kerja, nanti Arin coba tanya deh ma.”
“Iya itu lebih baik.”
Sh@
Sesampainya di rumah sakit Nina langsung menuju poli anak tempatnya bekerja, baru selangkah ia masuk ruangan semua mata tertuju padanya, Rizka sahabatnya memberi kode tanda bahaya. Nina mengangguk pelan sambil menelan ludahnya, ia sudah terlambat untuk kesekian kalinya dalam bulan ini, dan dokter Frizka pasti akan menegurnya dengan keras kali ini.
Ia mulai memasuki ruang kerjanya untuk mengganti baju seragamnya, sekilas ia melihat dokter Frizka lewat di depan ruang tempat Nina menukar bajunya. Dokter Frizka tak menoleh, tampaknya ia sedang sibuk, terdengar dari tegasnya ia memerintah para susternya untuk bergegas.
Sh@
“Dari mana aja sih kamu, akhir-akhir ini kamu jadi sering telat. Lagi ada masalah sama do’i?” tanya Rizka penasaran, mereka baru saja selesai melakukan tindakan darurat. “Untung aja dokter Frizka nggak ngomel.” Sambungnya.
“Hehe, aku lagi nggak ada masalah sama Jason, akhir-akhir ini lagi banyak pikiran aja.” Jawab Nina ringan.
“Tiap hari kan kamu banyak pikiran Na, makanya jangan terlalu dipikirin, ntar jadi cepet tua tau!” canda Rizka.
“Au ah.” Nina melenggang pergi.
Sh@
Nina termenung memeluk kedua kakinya, matanya menatap kosong ke arah televisi ia sama sekali tak menyimak acara yang sedang diputar, malam itu ia tak ikut makan malam, bu Arin cemas dan mendekatinya untuk bertanya kepada putri terkasihnya itu.
“Kamu kenapa nak, mama perhatikan akhir-akhir ini kamu sering merenung. Wajahmu murung, ada apa sayang? Cerita dong sama mama.” Bu Arin mengelus rambut Nina penuh kasih.
“Nggak pa-pa ma, Nina cuma inget sama ade’. Dan tiap kali Nina inget, rasa bersalah Nina bangkit dan semakin dalam.” Nina meletakkan kepalanya ke pangkuan bu Arin.
“Sudahlah nak, itu masa lalu. Dan itu semua bukan salah mu, kejadian itu merupakan kecelakaan.” Bu Arin menenangkan dengan kelembutannya.
“Ma, apa ade’ masih hidup? Apa ade’ baik-baik aja? Nina selalu mengharap kejadian itu tak terjadi Ma.” Nina mulai terisak.
“Nina! Dengerin mama, mama nggak pernah menyalahkan siapapun, mama nggak pernah menuntut kamu atas kesalahan yang sama sekali tidak pernah kamu lakukan. Mama sayang sama semua anak mama, jadi sayang, jangan lagi kamu menyalahkan diri kamu sendiri nak, dan mama yakin. Di mana pun adik kamu berada, ia pasti bahagia.”
Nina menelungkupkan kepalanya kepangkuan sang mama dalam, ia terisak, ia curahkan emosi hatinya dengan menangis di pangkuan sang mama. Malam itu Nina benar-benar menumpahkan segala beban dirinya, ia merasa benar-benar lega. Namun karena menangis semalaman, keesokan harinya ia berangkat kerja dengan mata bengkak.
Sh@
Aima Nur Safitri, 18 tahun, cerdas, lincah, energik, supel, pandai merayu dan manis. Keponakan tersayang dari dokter Sbastian, baru pulang dari Australia. Ai biasa ia dipanggil, merupakan anak pintar di sekolahnya, ia baru selesai mengikuti pertukaran pelajar SMA di Australi selama 2 semester. Setibanya di air port ia langsung ngacir ke rumah sakit tempat om tercintanya bekerja, meskipun lelah melekat di tubuhnya tidak ia hiraukan, pantang baginya pulang sebelum bertemu dengan omnya. Ia benar-benar sangat rindu dengan omnya, om yang memanjakannya dari kecil dan mencurahkan perhatian juga kasih sayang melebihi orang tuannya yang sibuk dengan bisnis.
Sh@
Jam istirahat makan siang, Nina yang tidak terlalu sibuk siang itu berinisiatif untuk pergi ke kantin rumah sakit, karena siang itu ia merasa benar-benar kelaparan, Rizka tak bisa menemaninya jadi terpaksa ia ke kantin sendiri.
Ia melewati dua ruangan untuk menuju ke kantin, ruang dahlia dan ruang cempaka. Diantara ruang dahlia dan ruang cempaka ada sebuah taman yang menghubungkan kedua ruangan tersebut, di tengah-tengah taman itu ada sebuah jalan setapak dari semen yang memang sengaja dibuat. Nina melewati jalan setapak itu untuk menuju ruang dahlia, setelah itu ada dua gang dan satu lorong panjang, di ujung lorong ada dua cabang, kanan ke kantin dan kiri menuju poli penyakit dalam.
Nina berjalan agak tergesa, karena perutnya sedang tidak ingin di ajak kompromi dan segera ingin diisi dengan makanan. Ia lewati lorong terakhir menuju kantin, ia agak mempercepat langkahnya, ketika ia berbelok ke arah kantin ia sedikit ceroboh dan.....GUBRAK!!!
Ia menabrak seorang gadis belia yang agak sedikit marah karena kecerobohan Nina.
“Aduh, maaf de... saya nggak sengaja.” Nina meminta maaf sambil membantu gadis itu berdiri.
Gadis berambut pendek sebatas leher dengan mengenakan kaus katun dan celana jeans itu nyengir kesakitan, sikunya berdarah karena insiden itu. Ia berdiri sambil memegangi siku yang ia rasa sakit.
“Lain kali lebih berhati-hati ya mbak.” Gadis belia itu menasehati.
Nina hanya mengangguk sedih, karena merasa bersalah akan luka yang di terima gadis belia itu, Nina menawarkan untuk mengobatinya, namun gadis itu menolak dengan halus.
“Nggak usah mba, biar luka saya diobati sama om saya saja.” Katanya dengan nada ceria.
“Lho, om kamu kerja di rumah sakit ini juga?” tanya Nina heran.
“Iya, dokter Sbastian dari poli penyakit dalam.” Gadis itu menjelaskan.
“Oh.....ya saya kenal dengan dokter Sbastian, dulu saya pernah jadi asistan dokter Sbastian sebelum saya pindah ke poli anak.”
“Kalau begitu saya permisi dulu ya mbak.” Pamit gadis belia itu.
“Sebentar, kita belum kenalan.” Cegah Nina.
“O..iya.” sambil mengulurkan tangan “Aima, tapi mbak bisa panggil saya Ai aja.” Ai memperkenalkan diri.
“Nina, senang berkenalan dengan mu Ai. Maaf atas kejadian tidak menyenangkan ini ya” kata Nina tulus.
“Iya nggak papa kok kak, udah biasa terjadi. Eh....nggak pa-pa kan Ai panggil kakak, biar akrab ajah.” Tegas Ai tanpa beban.
Nina agak sedikit kaget, Nina agak kikuk dengan sebutan itu. Karena telah lama kata itu tak ia dengar, karena telah hilang bersama hilangnya adiknya.
“Kak....??? Kak Nina?” tegur Ai.
“Eh iya...nggak pa-pa kok.” Nina tersadar dari lamunanya.
“Ok deh, sampai jumpa lagi ya kak Nina.” Ai berlalu meninggalkan Nina.
Nina lalu berbalik untuk kembali ke ruangannya, kini ia tak lagi merasa lapar. Rasa itu tiba-tiba saja lenyap, menguap begitu saja semenjak pertemuannya dengan Aima tadi. Entah mengapa ia merasa nyaman dengan sebutan yang di beri oleh Ai, “Kakak”. Sebuah kata yang telah lama hilang dan nyaris tak pernah ia dengar, dalam perjalanan pulang pun ia masih terus memikirkan pertemuannya yang tiba-tiba dengan Ai, apakah ini sebuah pertanda atau....???,,, ah ia tak ingin menerka-nerka hal yang ia tak tahu pasti apa maknanya. Ia takut jika angan-angannya itu akan berakhir buruk, angan-angan untuk menemukan sebuah kata yang telah lama hilang.
Sh@
“Kamu ini, datang bukannya bawa oleh-oleh yang enak-enak. Ini malah kena luka begini, kamu habis main dimana sih.” Gerutu om Sbastian.
“Udah deh om, tadi Ai kesandung batu.” Ai tak mau kalah.
“Iya deh, ponakan om yang satu ini galak banget sih.” Sambil mencubit hidung Ai gemas.
“Auw,,,, Sakit tau om. Udah ah Ai mau pulang, capek.”
“Ngambek niy.” Goda om Sebastian.
Ai tak merespon godaan omnya itu, ia benar-benar pergi. Bukan karena ngambek, tapi karena ia merasa badannya diserang oleh rasa capai yang tak bisa ia tahan lagi.
“Yah, kok pulang siy. Ya udah deh, tapi masa langsung nyelonong gitu ajah. Salam nya mana.”
Dengan sedikit lemas, Ai mencium pipi omnya dan segera berlalu pergi. Dalam perjalanan pulang Ai tertidur pulas, rupanya ia benar-benar kelelahan. Ai terlalu memaksakan diri untuk bertemu dengan sang om, meski ia tau kondisi badannya tidak memungkinkan.
Setibanya Ai di rumah, tak seorangpun dari orang tuanya yang berada di rumah, hanya ada para pembantu. Kata para pembantu, mama Ai sedang pergi shoping ke Malaysia, papa-nya sedang ada perjalanan bisnis ke London. Ai sudah menduga sebelumnya, maka dari itu ia tak ambil pusing dan langsung menuju ke kamar tercintanya dan tertidur pulas.
Sh@
Pagi itu bu Arin gelisah, ia berdiri di depan meja penuh foto keluarga, ia sungguh merasa bersalah kepada Nina, semua kejadian itu adalah salahnya. Ia yang teledor, ia yang tak fokus untuk menjaga anak-anaknya. Ia yang terlalu asyik mengobrol sehingga tak memerhatikan gerak-gerik putri-putri terkasihnya.
Siang itu mereka sekeluarga pergi berpiknik di dekat sungai, mereka tak menduga jika kegiatan piknik yang menyenangkan akan berubah menjadi petaka. Saat itu, bu Arin bersama oma dan juga Nina dan Syla pergi piknik dengan keluarga Kusuma.
Saat itu usia Nina sepuluh tahun dan Syla baru berusia lima tahun, ia menyuruh Nina bermain dengan Syla selagi ia dan bu Kusuma menyiapkan makan siang, ia lupa untuk mengawasi putri-putrinya.
Ia baru teringat akan mereka ketika ia mendengar teriakan Nina, ia baru sadar jika dua gadis kecilnya bermain tanpa pengawasannya.
Sungguh ia sangat menyesali hal itu, menyesali ketledorannya, namun ia sadar. Ia tak mau terlarut dengan kesedihan ini, karena toh kejadian itu sudah lama berlalu dan sebesar apapun penyesalannya tak membuat putri terkasihnya kembali kepelukannya.
“Rin.” Oma menepuk pundak bu Arin.
“Eh, Ma.” Bu Arin tersadar dari lamunannya.
“Anterin Mama, hari ini jadwal Mama cek gula darah mama.”
Sh@
Nina merasa menemukan kembali bagian yang telah lama hilang dari dirinya, ia merasa hidup. Sebelumnya tak pernah ia merasa semangat yang membara untuk bekerja, semenjak ia berkenalan dengan gadis kelas tiga SMA itu hidupnya merasa berwarna.
Mendengar candanya, melihat keceriaannya, ke jailannya semua itu mirip dengan adik kecilnya. Nina merasa kian dekat dengan Ai, namun ia agak curiga kepada Ai. Karena bagi orang sehat, apa alasannya sering ke rumah sakit. Nggak mungkin hanya karena ingin bertemu dengannya atau dengan om nya, Nina jadi berfikir apa gerangan alasan Ai sering datang kerumah sakit?
“Namanya Aima, Keponakan dokter Sbastian.” Rizka menjelaskan ketika Nina cerita tentang gadis yang baru ia kenal beberapa waktu lalu.
“Iya aku tau.” Sanggah Nina.
“Dengerin dulu.” Pinta Rizka.
“Iya maap.”
“Dia baru pulang dari Ausi, ia mengikuti program pertukaran pelajar selama dua semester. Anak tunggal pengusaha kaya yang lengket sama omnya.”
“Terus alasan dia sering kesini?”
“Dari kecil dia udah sering kesini kali non, masa nggak tau.”
“Yah, kamu tahu sendiri, aku baru dua tahun di sini.”
“Oya, maap. Ai sering keluar masuk rumah sakit ini, tapi bukan untuk berkunjung. Melainkan untuk berobat.”
“Memangnya dia sakit apa?” Nina penasaran.
“Nggak tau, yang aku tau cuma sebatas itu.”
Sh@
Jason Pramono, eksekutif muda yang amat setia dan mencintai Nina. Seorang pekerja keras, serius dan nggak romantis. Namun itulah yang membuat Nina jatuh hati kepadanya, sosok yang misterius, ganteng dan mengagumkan dan ditambah lagi Nina sudah mengenalnya sejak kecil.
Dengan penampilan yang selalu rapih, dengan stelan jas putih, celana putih dan sepatu putih, dasi merah bergaris, begitu serasi dan tidak ketinggalan, kacamata minus yang selalu nangkring di batang hidungnya. Hari itu Jason mengenakan setelan kesukaannya, serba putih menandakan sebuah kesucian hati.
Ia menunggu dengan sabar di depan rumah sakit, hari itu Jason sengaja membatalkan semua janji dengan kliennya, hari itu ia ingin mengajak Nina makan malam karena hari itu merupakan hari jadi mereka. Sebelumnya Jason nggak pernah ingat, namun karena merasa malu kepada Nina yang selalu memberinya kejutan-kejutan manis di setiap hari jadi mereka, maka hari itu secara khusus ia datang dengan membawa bunga yang telah dipesan oleh sekretarisnya, maklum Jason nggak tau bunga apa yang disukai oleh wanita pada umumnya, karena itulah ia meminta tolong sekretarisnya untuk memilih bunga yang kini ada di genggamannya.
Nina sangat terkejut dengan pemandangan di depannya, Jason menjemputnya dengan rangkaian bunga mawar ditangannya. Ia tersenyum manis, merasa takjub dengan pemandangan yang ada.
Jason senang dengan respon itu, respon senyuman yang selalu membuatnya terpesona. Bagi Jason, Nina terlihat cantik ketika ia tersenyum. Karena sebuah lesung pipit yang indah akan menghiasi pipi manisnya, begitu menawan dan alami.
Jason mendekat, memberikan rangkaian bunga yang ia bawa.
“Happy Anniversary dear.” Sambil mencium pipi Nina mesra.
“Kamu inget?” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Nina.
Dengan sabar Jason menjawab dengan lembut. “Iya dong, masa iya lah.” Gurau Jason.
“Udah deh, jangan kaget gitu. Mending kita pergi dinner yuk.” Ajak Jason.
“Tapi aku belum ganti baju.” Rajuk Nina.
“Nggak pa-pa, kamu ini keliatan cantik pake baju apa ajah.” Sambil membukakan pintu mobil untuk Nina.
“Gombal.” Kata Nina singkat sambil masuk ke dalam mobil.
“Siap.” Tanya Jason kepada Nina setelah berasa di dalam mobil.
Nina mengangguk pelan tanda setuju.
“Ok, berangkat.” Seru Jason bersemangat.
Mobil sedan metalik itu berlalu meninggalkan tempat parkir dengan kecepatan sedang menuju ke rumah makan tempat mereka akan makan malam.
Sh@
“OK, perkembangan kesehatan kamu cukup baik. Tapi inget kamu masih tetep harus minum obat, nggak boleh capek-capek.” Kata dokter Sbastian ringan, terkesan tak ada beban disana, dokter Sbastian sengaja untuk menutupi hal yang sesungguhnya, namun ia lupa jika pasiennya kini adalah keponakannya yang cerdas dan tak dapat di bohongi, karena Ai tahu akan resiko dari penyakit yang dideritannya.
“Udah deh om, kalau mau ngomong Ai mati sebentar lagi, ya ngomong ajah. Nggak usah di tutup-tutupin, memangnya Ai ini anak kecil yang polos yang masih bisa di bohongi.” Ai tersenyum pahit.
“Penyakit mu ini jenis leukemia tingkat akut Ai, harus ada donor sumsum agar...”
“Nggak usah om, ngrepotin orang ajah.” Jawab Ai singkat tanpa beban karena telah memotong pembicaraan omnya.
“Ai!!! Om serius.” Tegas omnya.
“Ai juga serius om, bukannya Ai nggak mau. Tapi Ai udah tau, kalau peluang hidup Ai cuma sedikit.”
“Ai.”
“Udah ah om, Ai capek nggak mau bahas ini lagi. Kalau udah saatnya mau gimana lagi.”
“Kok kamu jadi putus asa gini, kita bisa berobat ke luar. Om mengakui peralatan medis di sini belum terlalu canggih.”
“Om!! Peralatan disini sudah sama canggihnya dengan luar negeri, waktu Ai study di Ausi, Ai konsultasi dengan dokter disana. Dan memang sudah nggak tertolong lagi.” Ai berbohong untuk kelimat terahir yang ia ucap barusan, Ai tak pernah ke dokter manapun selain omnya.
Om Sebastian menghela nafas, susah kalau berdebat dengan keponakannya ini. Matanya mulai terasa panas, hatinya perih. Ia tak ingin seperti ini, ia ingin menyembuhkan keponakan kesayangannya, om Sebastian terduduk lemas di kursi dokternya.
“Om.” Ai mendekat sambil memegang pundak omnya pelan. “Ai sayang om, Ai sayang semuanya yang sayang Ai. Dan Ai ingin, om bersikap biasa, jangan antar Ai dengan tangisan om, tapi antar Ai dengan senyum dan doa.”
“Ai.” Om sebastian lemas, ia merasa sangat tak berguna, tak bisa melawan penyakit ini.
Ai duduk di depan meja dokter Sbastian, ia memandangi omnya yang lemas. Baru pertama kali ia melihat omnya begitu sedih, sebelumnya om Sbastian selalu terlihat tegar dan selalu menghiburnya.
“Om, tentang keluarga kandung Ai. Ai pengen ketemu, om udah ada kabar?”
Sh@
Pagi cerah, langit cerah, dan udara sejuk yang membuat hati tenang dan segar. Nina menikmati hari liburnya, pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Membuka jendela kamarnya, menghirup udara segar sebanyak ia mampu. Ia ingin menghirup udara sejuk pagi itu, serasa damai dan sehat. Selagi menikmati sejuknya udara pagi, sekilas Nina merasa ada yang memperhatikannya. Ia melihat sekeliling, kosong, ia hendak keluar kamar ketika ia mendengar bunyi KRASAK. Ia mengurungkan niatnya, ia kembali menyapukan pandangannya ke sekeliling. Ia menemukan satu sosok, memandangnya sejenak lalu hendak lari. Namun sosok itu tersandung dan jatuh, Nina segera keluar kamar untuk menemui sosok itu.
Beruntung sosok itu masih ada di sana, kelihatannya sosok itu terluka. Kesleo mungkin, Nina tidak tahu persis, tapi ia dekati sosok itu perlahan. Nina pegang pundaknya, perlahan sosok itu menoleh dan...
“Kamu?” Nina bertanya-tanya, sosok itu hanya tersenyum. “Siapa kamu?” tanya Nina kemudian.
“Edgard.” Jawab sosok itu polos.
“Nggak nanya namamu.”
“Busyet galaknya.”
“Ngapain pagi-pagi udah nongkrong di depan rumah saya, mau maling ya.” Tuduh Nina.
“Enak aja, emangnya nggak ada kerjaan lain apa.” Gerutu Edgard.
“Terus apa.”
“Ya....Cuma numpang lewat ajah.”
“Nggak mungkin, pasti ada alasan lain. Kalo nggak ngapain kamu pagi-pagi udah disini, kurang kerjaan ajah.”
Edgard terdiam sejenak, terlihat ia bingung mau menjawab apa. Namun sejurus kemudian wajahnya sedikit menunjukan kepercayaan diri, seperti sudah mendapat jawaban yang pasti.
“Boleh ikut sama aku sebentar.”
Sh@
Nina di bawa kesebuah taman di dekat kompleknya, iya bingung kenapa ia mau saja diajak oleh orang asing yang belum ia kenal. Nina berjalan dibelakang orang asing itu, ia mengamati gerak-geriknya, ia menyiapkan kuda-kuda siapa tau orang ini mau macam-macam.
“Udah deh, biasa aja kali kak. Nggak usah lebay.” Kata Edgard yang tau sikap Nina yang siap siaga.
“Kamu mau ngapain sebenarnya?”
“Tuh.” Cowok tengil yang bernama Edgard itu menunjuk ke satu arah lurus dari tempat mereka berdiri.
Nina mengikuti arah yang ditunjuk oleh Edgard, ada satu sosok yang tengah duduk di salah satu bangku taman, “Jason?” Nina mendekati sosok itu, ternyata benar ia adalah Jason kekasihnya.
“Hei.” Sapa Jason lembut.
“Hei.” Balas Nina sambil duduk di sebelah Jason.
“Thanks bro.” Jason berterimakasih kepada Edgard.
“Sama-sama bro.” Balas Edgard.
“Dia Edgard sepupu aku.” Jason menjelaskan.
“Oh, cowok tengil ini sepupu kamu.”
“What? Tengil?, enak ajah ganteng-ganteng begini di bilang tengil.” Sanggah Edgard.
Pagi itu serasa amat istimewa, Nina bahagia, Jason ada disampingnya. Meluangkan waktu, telah lama mereka tak bersama seperti ini, paling hanya satu malam di akhir pekan itupun sebentar karena terkadang Nina harus jaga malam di rumah sakit.
Sh@
Ai memandangi foto yang diberikan dokter Sbastian, ia pahami, kata dokter Sbastian disana ada gambar dirinya semasa kecil, bersama ibu, nenek dan kakak perempuannya. Dokter Sbastian menjelaskan jika ayahnya telah lama meninggal karena penyakit yang sama dengan yang diderita olehnya.
“Mereka tinggal dimana om?” Ai bertanya dengan perasaan haru.
“Mereka sangat dekat dengan kita Ai, selama ini ternyata mereka ada didekat kita.”
Sh@
Nina baru keluar dari ruang dahlia, dia baru saja mengantar pasiennya. Ketika ia melewati taman, ia melihat Ai sedang duduk termenung di bangku taman, ia dekati dan ia duduk di samping Ai.
“Hei.” Tegurnya.
Ai menoleh ke asal suara, Ai sedikit gugup namun ia segera dapat mengatasinya dengan senyum manis yang mengembang.
“Hei.” Jawab Ai lemas.
“Kakak liat kamu agak kurang bersemangat?” Nina memulai percakapan.
“Nggak kok kak, Ai hanya duduk santai mencari udara segar.” Jawab Ai sekenanya.
“Nggak sekolah? Ini masih jam sekolah lho.”
Ai menggeleng lemah, ia menatap Nina dengan perasaan haru. Nina menangkap kejanggalan dalam pandangan itu. Apa ini??,batin Nina, perasaan aneh tiba-tiba muncul ketika melihat mata polos Ai.
“Ada apa Ai, Cerita sama kakak?”
Ai diam sejenak, matanya terasa panas, ia tak tahan menahan gejolak jiwanya. Orang yang disampingnya ini, yang awal pertemuan dengannya begitu singkat, yang ia merasa nyaman didekatnya adalah kakak kandungnya. Ia tak tau harus berkata apa, kini ia mulai terisak, ingin rasanya ia mengatakan yang sesungguhnya, namun ia rasa belum saatnya.
“Ai telah temukan yang telah lama hilang dari Ai, begitu dekat dan nyata.”
Nina tak mengerti, kata-kata Ai membuatnya bingung. Ia tak ingin menerka-nerka, ia pandangi wajah polosnya, terlihat luka mendalam disana.
“Boleh Ai minta peluk kak.”
Nina mengangguk, “Sini.”
Ada getaran hebat yang dirasakan oleh Nina ketika memeluk gadis itu, serasa damai, serasa begitu akrab dan dekat.
Sh@
“Masuk.” Pinta Nina halus pada Ai.
Ai perlahan masuk, agak ragu, ia lihat kesekelilingnya. Inikah rumahnya, rumah masa kecilnya. Begitu sederhana namun nyaman, ada beberapa foto di meja dekat ruang tamu.
Ia lihat sejenak, benar saja, di sana ada foto yang sama yang diberikan oleh om Sbastian. Disana ada gambar dirinya bersama ibu, kakak, dan neneknya. Ia ambil foto itu, ia pandangi dan ia sapukan jari jemarinya ke bingkai foto itu, senyum bahagia tercetak begitu saja di bibir manisnya yang tanpa Ai sadari ibu Arin sudah tegak di belakangnya.
“Itu foto keluarga kecil kami nak.” Tegur bu Arin ramah, Ai agak kaget.
“Yang kecil itu adiknya Nina, Syla namanya.” Bu Arin melanjutkan penjelasannya.
“Sy..Syla?” Ai agak terbata mengeja nama kecilnya, Syla, jadi nama aslinya Syla, nama yang diberikan oleh orang tua kandungnya.
“Nina dekat sekali dengan Syla, dia..”
“Mama, udah ah.” Nina datang dari arah dapur sambil membawakan segelas minuman segar.
“Kenapa sayang, tadi mama liat temanmu ini lagi melihat-lihat foto jadi mama iseng ajah cerita.”
“Oh, oya kenalin ini Ai, keponakan dokter Sbastian.”
“O, dokter Sbastian, ya, mama tahu. Kan nenek pasien tetapnya dokter Sbastian. Ya udah kalau begitu mama tinggal ke belakang ya.”
Mereka berdua mengangguk bersamaan.
“Ke kamar kakak aja yuk.” Ajak Nina, Ai mengikuti dari belakang.
“Wah, ijo. Kakak suka warna Ijo ya, kalau Ai sukanya warna Biru dong.” Celetuk Ai polos.
“Iya, habis sejuk sih. Biru? Kenapa Ai suka warna biru?” tanya Nina penasaran.
“Enak ajah diliat, kalem dan dalem. Kalau Ai liat warna biru, hati terasa tentram. Pokoknya adem ayem deh.”
Kalem dan dalem, kata-kata yang polos, yang dulu juga pernah ia dengar dari Syla.
Sh@
Hari itu Ai lupa nggak bawa obatnya, seharian bermain di rumah Nina membuatnya lupa buat meminum obat, tiba-tiba ia merasa kepalanya terasa berat, ia pegang pelipisnya menahan sakit, ia pijit-pijit untuk meredakan rasa sakitnya.
Ia juga merasa ada yang mengalir melewati sela-sela hidungnya, darah, ya darah segar mengalir deras dari hidungnya. Ia usap, namun terus mengalir. Nina sedang di dapur waktu Ai sedang merasa sakit, dan ketika Nina balik dari dapur, Nina kaget menemukan Ai dengan keadaan tangan yang menutupi hidungnya yang berlumuran darah.
Nina agak panik, ia mencoba melakukan pertolongan pertama dengan menidurkan Ai di tempat tidur dengan posisi kaki di ganjal bantal dan posisi kepala lebih rendah dari kaki. Nina pikir itu adalah gejala mimisan biasa, memang agak membantu, namun beberapa saat kemudian Ai pingsan dan Nina langsung memanggil taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit.
Sh@
Dokter Sbastian menangani langsung Ai, ia dengan cekatan melakukan tindakan untuk menolong keponakannya itu. Nina menunggu diluar seperti para penunggu pasien lain, masih dalam keadaan cemas handphone nya berdering.
“Jason.”
Sh@
Dokter Sbastian keluar dari ruang IGD, ia melihat Nina sedang duduk lalu memanggilnya.
“Terima kasih banyak.”
“Sama-sama dok, bagaimana keadaan Ai? Kalau boleh saya tahu Ai sakit apa ya dok?”
Dokter Sbastian terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada mantap.
“Boleh ikut saya, ada yang perlu saya jelaskan dengan anda.”
Sh@
Edgard menggenggam tangan kekasihnya dengan lembut, siang tadi ia dikabari oleh om Sbastian tentang Ai, ia langsung meluncur ke rumah sakit. Ia selalu khawatir jika jauh dari Ai, namun Ai selalu meminta Edgard agar tak terlalu mencemaskan keadaanya, jika Edgard ada di dekatnya, Ai malah menyuruh Edgard menjauh.
Terkadang Edgard bingung dengan kondisi Ai yang cuek, yang tak mau di manja dan di perhatikan. Ai selalu merasa dikasihani oleh Edgard, padahal Edgard melakukan semua itu karena ia sayang. Dan bagaimanapun Ai memperlakukan Edgard, ia akan selalu ada buat menghibur Ai dan membuat Ai tersenyum.
Sh@
Nina tak mempercayai dengan apa yang barusan dijelaskan oleh dokter Sbastian, ia bingung harus berkata apa. Ai, adiknya yang telah lama hilang, Ai adalah Syla, dan selama ini ia dekat dengan Syla.
Dokter Sbastian juga memberi tahu Nina tentang penyakit Ai, dan berbagai hal lainnya. Ketika dokter Sbastian bertanya tentang kesediannya menjadi donor, dengan mantap Nina menyanggupinya, Nina melakukan tes dan hasilnya ia dapat mendonorkan tulang sumsumnya untuk Ai.
Nina menghubungi ibu Arin dan menjelaskan semuanya. Bu Arin sempat tak percaya, namun dengan agak ragu akhirnya bu Arin bersama Oma mau datang ke rumah sakit diantar oleh Jason.
Dengan persetujuan bu Arin, Nina menjalani operasi besar pencangkokan tulang sumsumnya untuk Ai, Jason menggenggam erat tangan Nina sebelum Nina memasuki ruang operasi.
“Kembali untuk ku dear, aku tunggu kamu disini.” Singkat namun memiliki makna yang dalam, Nina mengangguk pelan.
“Pasti.” Bisiknya.
Nina memasuki ruang operasi itu dengan perasaan aneh, biasanya ia yang membawa pasien-pasiennya, namun kini ia yang di bawa memasuki ruangan itu. Ia melihat ke sebelah, terlihat Ai yang tak sadarkan diri dengan berbagai alat bantu yang menempel ditubuh mungilnya.
Suster menyuntikan cairan pembius, lamat-lamat Nina mulai kehilangan kesadaran dan hingga benar-benar terbius. Dokter Sbastian langsung melakukan tugasnya, ia memulai operasi besar itu bersama dengan harapan yang besar pula.
Sh@
“Syla......Syla......” Terdengar sebuah suara memanggil-manggil nama kecil Ai, suara seorang lelaki paruh baya itu terus menggaung di telinga Ai.
“Siapa di sana?” Ai berjalan menyusuri lorong sepi itu, ia melihat ke sekelilingnya, hanya ada cahaya yang menyilaukan mata, Ai merasa amat asing dengan situasi seperti ini.
Ia terus berjalan mengikuti asal suara. Di ujung lorong itu ia melihat seorang lelaki paruh baya, mengenakan baju yang serba putih. Memandang ke arah nya, dengan lembut ia panggil kembali namanya
“Syla.”
Ai mendekat dengan perasaan ragu, Ai tampak asing.
“Siapa di sana?” tanya Ai lagi.
“Sini Syla, ini papa.”
“Papa?”
Ai menatap lelaki itu dengan wajah polosnya, dengan sedikit ragu, ia melangkah lebih dekat lagi.
“Papa.” Ulangnya, kini mereka saling berhadapan.
“Ini papa Syla.” Sang papa meraih tangan Ai, menggandengnya. “Ikut papa Syla, di sana sangat nyaman.”
Tanpa perlawanan Ai mengikuti langkah sang papa, Ai memegang tangan sang papa erat seraya terus memandangi wajah papa nya itu.
“Ai, jangan pergi Ai. Jangan ikut papa.” Suara Nina menggema di lorong panjang itu, Ai berbalik dan menjumpai Nina yang sedang berlari menghampirinya.
“Jangan Ai, jangan pergi.” Nina mengulangi kata-katanya lagi.
“Tapi Ai ingin ikut papa.”
“Jangan Ai, banyak orang yang sayang sama Ai, mereka belum siap untuk Ai tinggal. Ada mama, oma, dokter Sbastian dan kakak.” Nina mengulurkan tangannya. “Ikut kakak pulang Ai.”
Ai menoleh ke arah papanya, si papa tersenyum dan mengangguk pelan. Dilepasnya tangan Ai dari genggaman, Ai lalu meraih tangan Nina dan tiba-tiba pandangannya menjadi buram, semuanya menjadi samar-samar.
Sh@
“HhhaahhHH......” Ai tersadar dari masa kritisnya. Ia melihat sekeliling, putih, ia merasakan tubuhnya penuh dengan selang.
“Ai dimana?” tanyanya entah kepada siapa. Edgard yang tertidur di samping tempat tidur Ai terbangun.
“Ai, kamu udah sadar?” Seru Edgard senang.
“Edgard, Ai dimana?”
“Kamu di rumah sakit sayang, sebentar aku panggil om Sbastian dulu ya.”
Edgard berlari keluar untuk memberi tahukan semua orang tentang kabar gembira ini.
Dokter Sbastian masuk dengan para perawat untuk memeriksa keadaan Ai, senyum bahagia tercetak di wajah semua orang, termasuk dokter Sbastian.
“Om senang Ai, kamu sembuh, dari awal om optimis, kamu pasti bisa bertahan melewati semua ini.”
“Om.”
“Iya nak, ada apa?”
“Ai kira Ai udah mati.”
“Om kira juga begitu, tapi kenyataannya lain. Kakak mu telah menyumbangkan sumsumnya untuk mu Ai.”
“Kak Nina?”
Dokter Sbastian mengangguk.
“Terus, kak Nina dimana om?”
Dokter Sbastian terdiam, ia tak menjawab pertanyaan Ai.
“Om, Ai tanya, kak Nina mana?”
“Kamu harus istirahat sekarang Ai, kamu belum sembuh total.” Dokter Sbastian mengalihkan pembicaraan.
“Nggak mau, sebelum om jawab pertanyaan Ai.”
“Besok aja ya, kamu harus istirahat.”
“Tapi om.”
“Semuanya, tolong biarkan Ai istirahat dulu.” Pinta dokter Sbastian.
Ai merasa kesal dengan tingkah omnya, namun Ai menangkap gelagat aneh dari cara om Sbastian berbicara, seperti ada yang ingin ia sembunyikan. Tiba-tiba saja pikiran itu mampir ke otaknya, jangan-jangan.
“Kak Nina.” Ai mencoba bangun dari tempat tidur, dengan susah payah, ia mencoba melepas semua selang yang ada di tubuhnya, tapi susah. Dan ia hanya bisa pasrah.
“Om, biarin Ai ketemu kak Nina.” Teriak Ai sekeras-kerasnya, ia tak perduli kalau ia harus mengganggu pasien lain.
“OM, AI MAU KETEMU KAK NINA.” Teriak Ai lebih kencang.
“SSSSTTT!!!!!Berisik tau!!!!” Ada suara seseorang dari balik tirai di sebelah tempat tidur Ai.
Ai menyingkap tirai itu dan Ai terkejut dengan apa yang dilihatnya.
“Berisik amat sih, aku nggak bisa tidur nih. Kamu ini memang selalu berisik ya.”
“Kak Nina.” Seru Ai senang.
“Memang siapa lagi.”
Mereka saling bertatapan dengan perasaan senang bercampur haru.
Kini Nina telah menemukan sebuah kata yang hilang dari hidupnya, dan ia akan terus menjaganya dengan penuh kasih sayang.
“Om Sbastian!!!!Awas ya beraninya ngerjain AI........”
“SSSTTT!!!BERISIK!!!Kakak mau tidur nih.”
Sh@
eh udah selese ya..gimana? bagus,,menarik apa biasa aja? apa malah malu-maluin...
hayo...udah jangan malu-malu, caci maki saja karya ane,,agar nanti ane bisa nulis yang bagusan lagi,, makasih buanget lho udah mau baca,, tangkyu dah,, oya ditunggu caci makinya ya...
matur nuwun......
(^0^)v

by

sEbuAh kAta yAnG hILaNg ePs.05

Sh@

“Masuk.” Pinta Nina halus pada Ai.

Ai perlahan masuk, agak ragu, ia lihat kesekelilingnya. Inikah rumahnya, rumah masa kecilnya. Begitu sederhana namun nyaman, ada beberapa foto di meja dekat ruang tamu.

Ia lihat sejenak, benar saja, di sana ada foto yang sama yang diberikan oleh om Sbastian. Disana ada gambar dirinya bersama ibu, kakak, dan neneknya. Ia ambil foto itu, ia pandangi dan ia sapukan jari jemarinya ke bingkai foto itu, senyum bahagia tercetak begitu saja di bibir manisnya yang tanpa Ai sadari ibu Arin sudah tegak di belakangnya.

“Itu foto keluarga kecil kami nak.” Tegur bu Arin ramah, Ai agak kaget.

“Yang kecil itu adiknya Nina, Syla namanya.” Bu Arin melanjutkan penjelasannya.

“Sy..Syla?” Ai agak terbata mengeja nama kecilnya, Syla, jadi nama aslinya Syla, nama yang diberikan oleh orang tua kandungnya.

“Nina dekat sekali dengan Syla, dia..”

“Mama, udah ah.” Nina datang dari arah dapur sambil membawakan segelas minuman segar.

“Kenapa sayang, tadi mama liat temanmu ini lagi melihat-lihat foto jadi mama iseng ajah cerita.”

“Oh, oya kenalin ini Ai, keponakan dokter Sbastian.”

“O, dokter Sbastian, ya, mama tahu. Kan nenek pasien tetapnya dokter Sbastian. Ya udah kalau begitu mama tinggal ke belakang ya.”

Mereka berdua mengangguk bersamaan.

“Ke kamar kakak aja yuk.” Ajak Nina, Ai mengikuti dari belakang.

“Wah, ijo. Kakak suka warna Ijo ya, kalau Ai sukanya warna Biru dong.” Celetuk Ai polos.

“Iya, habis sejuk sih. Biru? Kenapa Ai suka warna biru?” tanya Nina penasaran.

“Enak ajah diliat, kalem dan dalem. Kalau Ai liat warna biru, hati terasa tentram. Pokoknya adem ayem deh.”

Kalem dan dalem, kata-kata yang polos, yang dulu juga pernah ia dengar dari Syla.

Sh@

Hari itu Ai lupa nggak bawa obatnya, seharian bermain di rumah Nina membuatnya lupa buat meminum obat, tiba-tiba ia merasa kepalanya terasa berat, ia pegang pelipisnya menahan sakit, ia pijit-pijit untuk meredakan rasa sakitnya.

Ia juga merasa ada yang mengalir melewati sela-sela hidungnya, darah, ya darah segar mengalir deras dari hidungnya. Ia usap, namun terus mengalir. Nina sedang di dapur waktu Ai sedang merasa sakit, dan ketika Nina balik dari dapur, Nina kaget menemukan Ai dengan keadaan tangan yang menutupi hidungnya yang berlumuran darah.

Nina agak panik, ia mencoba melakukan pertolongan pertama dengan menidurkan Ai di tempat tidur dengan posisi kaki di ganjal bantal dan posisi kepala lebih rendah dari kaki. Nina pikir itu adalah gejala mimisan biasa, memang agak membantu, namun beberapa saat kemudian Ai pingsan dan Nina langsung memanggil taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit.

Sh@

Dokter Sbastian menangani langsung Ai, ia dengan cekatan melakukan tindakan untuk menolong keponakannya itu. Nina menunggu diluar seperti para penunggu pasien lain, masih dalam keadaan cemas handphone nya berdering.

“Jason.”

Sh@

Dokter Sbastian keluar dari ruang IGD, ia melihat Nina sedang duduk lalu memanggilnya.

“Terima kasih banyak.”

“Sama-sama dok, bagaimana keadaan Ai? Kalau boleh saya tahu Ai sakit apa ya dok?”

Dokter Sbastian terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada mantap.

“Boleh ikut saya, ada yang perlu saya jelaskan dengan anda.”

Sh@

Edgard menggenggam tangan kekasihnya dengan lembut, siang tadi ia dikabari oleh om Sbastian tentang Ai, ia langsung meluncur ke rumah sakit. Ia selalu khawatir jika jauh dari Ai, namun Ai selalu meminta Edgard agar tak terlalu mencemaskan keadaanya, jika Edgard ada di dekatnya, Ai malah menyuruh Edgard menjauh.

Terkadang Edgard bingung dengan kondisi Ai yang cuek, yang tak mau di manja dan di perhatikan. Ai selalu merasa dikasihani oleh Edgard, padahal Edgard melakukan semua itu karena ia sayang. Dan bagaimanapun Ai memperlakukan Edgard, ia akan selalu ada buat menghibur Ai dan membuat Ai tersenyum.

Sh@

Nina tak mempercayai dengan apa yang barusan dijelaskan oleh dokter Sbastian, ia bingung harus berkata apa. Ai, adiknya yang telah lama hilang, Ai adalah Syla, dan selama ini ia dekat dengan Syla.

Dokter Sbastian juga memberi tahu Nina tentang penyakit Ai, dan berbagai hal lainnya. Ketika dokter Sbastian bertanya tentang kesediannya menjadi donor, dengan mantap Nina menyanggupinya, Nina melakukan tes dan hasilnya ia dapat mendonorkan tulang sumsumnya untuk Ai.

Nina menghubungi ibu Arin dan menjelaskan semuanya. Bu Arin sempat tak percaya, namun dengan agak ragu akhirnya bu Arin bersama Oma mau datang ke rumah sakit diantar oleh Jason.

Dengan persetujuan bu Arin, Nina menjalani operasi besar pencangkokan tulang sumsumnya untuk Ai, Jason menggenggam erat tangan Nina sebelum Nina memasuki ruang operasi.

“Kembali untuk ku dear, aku tunggu kamu disini.” Singkat namun memiliki makna yang dalam, Nina mengangguk pelan.

“Pasti.” Bisiknya.

Nina memasuki ruang operasi itu dengan perasaan aneh, biasanya ia yang membawa pasien-pasiennya, namun kini ia yang di bawa memasuki ruangan itu. Ia melihat ke sebelah, terlihat Ai yang tak sadarkan diri dengan berbagai alat bantu yang menempel ditubuh mungilnya.

Suster menyuntikan cairan pembius, lamat-lamat Nina mulai kehilangan kesadaran dan hingga benar-benar terbius. Dokter Sbastian langsung melakukan tugasnya, ia memulai operasi besar itu bersama dengan harapan yang besar pula.

Sh@

“Syla......Syla......” Terdengar sebuah suara memanggil-manggil nama kecil Ai, suara seorang lelaki paruh baya itu terus menggaung di telinga Ai.

“Siapa di sana?” Ai berjalan menyusuri lorong sepi itu, ia melihat ke sekelilingnya, hanya ada cahaya yang menyilaukan mata, Ai merasa amat asing dengan situasi seperti ini.

Ia terus berjalan mengikuti asal suara. Di ujung lorong itu ia melihat seorang lelaki paruh baya, mengenakan baju yang serba putih. Memandang ke arah nya, dengan lembut ia panggil kembali namanya

“Syla.”

Ai mendekat dengan perasaan ragu, Ai tampak asing.

“Siapa di sana?” tanya Ai lagi.

“Sini Syla, ini papa.”

“Papa?”

Ai menatap lelaki itu dengan wajah polosnya, dengan sedikit ragu, ia melangkah lebih dekat lagi.

“Papa.” Ulangnya, kini mereka saling berhadapan.

“Ini papa Syla.” Sang papa meraih tangan Ai, menggandengnya. “Ikut papa Syla, di sana sangat nyaman.”

Tanpa perlawanan Ai mengikuti langkah sang papa, Ai memegang tangan sang papa erat seraya terus memandangi wajah papa nya itu.

“Ai, jangan pergi Ai. Jangan ikut papa.” Suara Nina menggema di lorong panjang itu, Ai berbalik dan menjumpai Nina yang sedang berlari menghampirinya.

“Jangan Ai, jangan pergi.” Nina mengulangi kata-katanya lagi.

“Tapi Ai ingin ikut papa.”

“Jangan Ai, banyak orang yang sayang sama Ai, mereka belum siap untuk Ai tinggal. Ada mama, oma, dokter Sbastian dan kakak.” Nina mengulurkan tangannya. “Ikut kakak pulang Ai.”

Ai menoleh ke arah papanya, si papa tersenyum dan mengangguk pelan. Dilepasnya tangan Ai dari genggaman, Ai lalu meraih tangan Nina dan tiba-tiba pandangannya menjadi buram, semuanya menjadi samar-samar.

Sh@

“HhhaahhHH......” Ai tersadar dari masa kritisnya. Ia melihat sekeliling, putih, ia merasakan tubuhnya penuh dengan selang.

“Ai dimana?” tanyanya entah kepada siapa. Edgard yang tertidur di samping tempat tidur Ai terbangun.

“Ai, kamu udah sadar?” Seru Edgard senang.

“Edgard, Ai dimana?”

“Kamu di rumah sakit sayang, sebentar aku panggil om Sbastian dulu ya.”

Edgard berlari keluar untuk memberi tahukan semua orang tentang kabar gembira ini.

Dokter Sbastian masuk dengan para perawat untuk memeriksa keadaan Ai, senyum bahagia tercetak di wajah semua orang, termasuk dokter Sbastian.

“Om senang Ai, kamu sembuh, dari awal om optimis, kamu pasti bisa bertahan melewati semua ini.”

“Om.”

“Iya nak, ada apa?”

“Ai kira Ai udah mati.”

“Om kira juga begitu, tapi kenyataannya lain. Kakak mu telah menyumbangkan sumsumnya untuk mu Ai.”

“Kak Nina?”

Dokter Sbastian mengangguk.

“Terus, kak Nina dimana om?”

Dokter Sbastian terdiam, ia tak menjawab pertanyaan Ai.

“Om, Ai tanya, kak Nina mana?”

“Kamu harus istirahat sekarang Ai, kamu belum sembuh total.” Dokter Sbastian mengalihkan pembicaraan.

“Nggak mau, sebelum om jawab pertanyaan Ai.”

“Besok aja ya, kamu harus istirahat.”

“Tapi om.”

“Semuanya, tolong biarkan Ai istirahat dulu.” Pinta dokter Sbastian.

Ai merasa kesal dengan tingkah omnya, namun Ai menangkap gelagat aneh dari cara om Sbastian berbicara, seperti ada yang ingin ia sembunyikan. Tiba-tiba saja pikiran itu mampir ke otaknya, jangan-jangan.

“Kak Nina.” Ai mencoba bangun dari tempat tidur, dengan susah payah, ia mencoba melepas semua selang yang ada di tubuhnya, tapi susah. Dan ia hanya bisa pasrah.

“Om, biarin Ai ketemu kak Nina.” Teriak Ai sekeras-kerasnya, ia tak perduli kalau ia harus mengganggu pasien lain.

“OM, AI MAU KETEMU KAK NINA.” Teriak Ai lebih kencang.

“SSSSTTT!!!!!Berisik tau!!!!” Ada suara seseorang dari balik tirai di sebelah tempat tidur Ai.

Ai menyingkap tirai itu dan Ai terkejut dengan apa yang dilihatnya.

“Berisik amat sih, aku nggak bisa tidur nih. Kamu ini memang selalu berisik ya.”

“Kak Nina.” Seru Ai senang.

“Memang siapa lagi.”

Mereka saling bertatapan dengan perasaan senang bercampur haru.

Kini Nina telah menemukan sebuah kata yang hilang dari hidupnya, dan ia akan terus menjaganya dengan penuh kasih sayang.

“Om Sbastian!!!!Awas ya beraninya ngerjain AI........”

“SSSTTT!!!BERISIK!!!Kakak mau tidur nih.”

Sh@

 
Copyright 2009 Welcome to Cucuran Hati. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemesfree