Sabtu, 19 Juni 2010

sEbuAh kAta yAnG hILaNg ePs.05

Sh@

“Masuk.” Pinta Nina halus pada Ai.

Ai perlahan masuk, agak ragu, ia lihat kesekelilingnya. Inikah rumahnya, rumah masa kecilnya. Begitu sederhana namun nyaman, ada beberapa foto di meja dekat ruang tamu.

Ia lihat sejenak, benar saja, di sana ada foto yang sama yang diberikan oleh om Sbastian. Disana ada gambar dirinya bersama ibu, kakak, dan neneknya. Ia ambil foto itu, ia pandangi dan ia sapukan jari jemarinya ke bingkai foto itu, senyum bahagia tercetak begitu saja di bibir manisnya yang tanpa Ai sadari ibu Arin sudah tegak di belakangnya.

“Itu foto keluarga kecil kami nak.” Tegur bu Arin ramah, Ai agak kaget.

“Yang kecil itu adiknya Nina, Syla namanya.” Bu Arin melanjutkan penjelasannya.

“Sy..Syla?” Ai agak terbata mengeja nama kecilnya, Syla, jadi nama aslinya Syla, nama yang diberikan oleh orang tua kandungnya.

“Nina dekat sekali dengan Syla, dia..”

“Mama, udah ah.” Nina datang dari arah dapur sambil membawakan segelas minuman segar.

“Kenapa sayang, tadi mama liat temanmu ini lagi melihat-lihat foto jadi mama iseng ajah cerita.”

“Oh, oya kenalin ini Ai, keponakan dokter Sbastian.”

“O, dokter Sbastian, ya, mama tahu. Kan nenek pasien tetapnya dokter Sbastian. Ya udah kalau begitu mama tinggal ke belakang ya.”

Mereka berdua mengangguk bersamaan.

“Ke kamar kakak aja yuk.” Ajak Nina, Ai mengikuti dari belakang.

“Wah, ijo. Kakak suka warna Ijo ya, kalau Ai sukanya warna Biru dong.” Celetuk Ai polos.

“Iya, habis sejuk sih. Biru? Kenapa Ai suka warna biru?” tanya Nina penasaran.

“Enak ajah diliat, kalem dan dalem. Kalau Ai liat warna biru, hati terasa tentram. Pokoknya adem ayem deh.”

Kalem dan dalem, kata-kata yang polos, yang dulu juga pernah ia dengar dari Syla.

Sh@

Hari itu Ai lupa nggak bawa obatnya, seharian bermain di rumah Nina membuatnya lupa buat meminum obat, tiba-tiba ia merasa kepalanya terasa berat, ia pegang pelipisnya menahan sakit, ia pijit-pijit untuk meredakan rasa sakitnya.

Ia juga merasa ada yang mengalir melewati sela-sela hidungnya, darah, ya darah segar mengalir deras dari hidungnya. Ia usap, namun terus mengalir. Nina sedang di dapur waktu Ai sedang merasa sakit, dan ketika Nina balik dari dapur, Nina kaget menemukan Ai dengan keadaan tangan yang menutupi hidungnya yang berlumuran darah.

Nina agak panik, ia mencoba melakukan pertolongan pertama dengan menidurkan Ai di tempat tidur dengan posisi kaki di ganjal bantal dan posisi kepala lebih rendah dari kaki. Nina pikir itu adalah gejala mimisan biasa, memang agak membantu, namun beberapa saat kemudian Ai pingsan dan Nina langsung memanggil taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit.

Sh@

Dokter Sbastian menangani langsung Ai, ia dengan cekatan melakukan tindakan untuk menolong keponakannya itu. Nina menunggu diluar seperti para penunggu pasien lain, masih dalam keadaan cemas handphone nya berdering.

“Jason.”

Sh@

Dokter Sbastian keluar dari ruang IGD, ia melihat Nina sedang duduk lalu memanggilnya.

“Terima kasih banyak.”

“Sama-sama dok, bagaimana keadaan Ai? Kalau boleh saya tahu Ai sakit apa ya dok?”

Dokter Sbastian terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada mantap.

“Boleh ikut saya, ada yang perlu saya jelaskan dengan anda.”

Sh@

Edgard menggenggam tangan kekasihnya dengan lembut, siang tadi ia dikabari oleh om Sbastian tentang Ai, ia langsung meluncur ke rumah sakit. Ia selalu khawatir jika jauh dari Ai, namun Ai selalu meminta Edgard agar tak terlalu mencemaskan keadaanya, jika Edgard ada di dekatnya, Ai malah menyuruh Edgard menjauh.

Terkadang Edgard bingung dengan kondisi Ai yang cuek, yang tak mau di manja dan di perhatikan. Ai selalu merasa dikasihani oleh Edgard, padahal Edgard melakukan semua itu karena ia sayang. Dan bagaimanapun Ai memperlakukan Edgard, ia akan selalu ada buat menghibur Ai dan membuat Ai tersenyum.

Sh@

Nina tak mempercayai dengan apa yang barusan dijelaskan oleh dokter Sbastian, ia bingung harus berkata apa. Ai, adiknya yang telah lama hilang, Ai adalah Syla, dan selama ini ia dekat dengan Syla.

Dokter Sbastian juga memberi tahu Nina tentang penyakit Ai, dan berbagai hal lainnya. Ketika dokter Sbastian bertanya tentang kesediannya menjadi donor, dengan mantap Nina menyanggupinya, Nina melakukan tes dan hasilnya ia dapat mendonorkan tulang sumsumnya untuk Ai.

Nina menghubungi ibu Arin dan menjelaskan semuanya. Bu Arin sempat tak percaya, namun dengan agak ragu akhirnya bu Arin bersama Oma mau datang ke rumah sakit diantar oleh Jason.

Dengan persetujuan bu Arin, Nina menjalani operasi besar pencangkokan tulang sumsumnya untuk Ai, Jason menggenggam erat tangan Nina sebelum Nina memasuki ruang operasi.

“Kembali untuk ku dear, aku tunggu kamu disini.” Singkat namun memiliki makna yang dalam, Nina mengangguk pelan.

“Pasti.” Bisiknya.

Nina memasuki ruang operasi itu dengan perasaan aneh, biasanya ia yang membawa pasien-pasiennya, namun kini ia yang di bawa memasuki ruangan itu. Ia melihat ke sebelah, terlihat Ai yang tak sadarkan diri dengan berbagai alat bantu yang menempel ditubuh mungilnya.

Suster menyuntikan cairan pembius, lamat-lamat Nina mulai kehilangan kesadaran dan hingga benar-benar terbius. Dokter Sbastian langsung melakukan tugasnya, ia memulai operasi besar itu bersama dengan harapan yang besar pula.

Sh@

“Syla......Syla......” Terdengar sebuah suara memanggil-manggil nama kecil Ai, suara seorang lelaki paruh baya itu terus menggaung di telinga Ai.

“Siapa di sana?” Ai berjalan menyusuri lorong sepi itu, ia melihat ke sekelilingnya, hanya ada cahaya yang menyilaukan mata, Ai merasa amat asing dengan situasi seperti ini.

Ia terus berjalan mengikuti asal suara. Di ujung lorong itu ia melihat seorang lelaki paruh baya, mengenakan baju yang serba putih. Memandang ke arah nya, dengan lembut ia panggil kembali namanya

“Syla.”

Ai mendekat dengan perasaan ragu, Ai tampak asing.

“Siapa di sana?” tanya Ai lagi.

“Sini Syla, ini papa.”

“Papa?”

Ai menatap lelaki itu dengan wajah polosnya, dengan sedikit ragu, ia melangkah lebih dekat lagi.

“Papa.” Ulangnya, kini mereka saling berhadapan.

“Ini papa Syla.” Sang papa meraih tangan Ai, menggandengnya. “Ikut papa Syla, di sana sangat nyaman.”

Tanpa perlawanan Ai mengikuti langkah sang papa, Ai memegang tangan sang papa erat seraya terus memandangi wajah papa nya itu.

“Ai, jangan pergi Ai. Jangan ikut papa.” Suara Nina menggema di lorong panjang itu, Ai berbalik dan menjumpai Nina yang sedang berlari menghampirinya.

“Jangan Ai, jangan pergi.” Nina mengulangi kata-katanya lagi.

“Tapi Ai ingin ikut papa.”

“Jangan Ai, banyak orang yang sayang sama Ai, mereka belum siap untuk Ai tinggal. Ada mama, oma, dokter Sbastian dan kakak.” Nina mengulurkan tangannya. “Ikut kakak pulang Ai.”

Ai menoleh ke arah papanya, si papa tersenyum dan mengangguk pelan. Dilepasnya tangan Ai dari genggaman, Ai lalu meraih tangan Nina dan tiba-tiba pandangannya menjadi buram, semuanya menjadi samar-samar.

Sh@

“HhhaahhHH......” Ai tersadar dari masa kritisnya. Ia melihat sekeliling, putih, ia merasakan tubuhnya penuh dengan selang.

“Ai dimana?” tanyanya entah kepada siapa. Edgard yang tertidur di samping tempat tidur Ai terbangun.

“Ai, kamu udah sadar?” Seru Edgard senang.

“Edgard, Ai dimana?”

“Kamu di rumah sakit sayang, sebentar aku panggil om Sbastian dulu ya.”

Edgard berlari keluar untuk memberi tahukan semua orang tentang kabar gembira ini.

Dokter Sbastian masuk dengan para perawat untuk memeriksa keadaan Ai, senyum bahagia tercetak di wajah semua orang, termasuk dokter Sbastian.

“Om senang Ai, kamu sembuh, dari awal om optimis, kamu pasti bisa bertahan melewati semua ini.”

“Om.”

“Iya nak, ada apa?”

“Ai kira Ai udah mati.”

“Om kira juga begitu, tapi kenyataannya lain. Kakak mu telah menyumbangkan sumsumnya untuk mu Ai.”

“Kak Nina?”

Dokter Sbastian mengangguk.

“Terus, kak Nina dimana om?”

Dokter Sbastian terdiam, ia tak menjawab pertanyaan Ai.

“Om, Ai tanya, kak Nina mana?”

“Kamu harus istirahat sekarang Ai, kamu belum sembuh total.” Dokter Sbastian mengalihkan pembicaraan.

“Nggak mau, sebelum om jawab pertanyaan Ai.”

“Besok aja ya, kamu harus istirahat.”

“Tapi om.”

“Semuanya, tolong biarkan Ai istirahat dulu.” Pinta dokter Sbastian.

Ai merasa kesal dengan tingkah omnya, namun Ai menangkap gelagat aneh dari cara om Sbastian berbicara, seperti ada yang ingin ia sembunyikan. Tiba-tiba saja pikiran itu mampir ke otaknya, jangan-jangan.

“Kak Nina.” Ai mencoba bangun dari tempat tidur, dengan susah payah, ia mencoba melepas semua selang yang ada di tubuhnya, tapi susah. Dan ia hanya bisa pasrah.

“Om, biarin Ai ketemu kak Nina.” Teriak Ai sekeras-kerasnya, ia tak perduli kalau ia harus mengganggu pasien lain.

“OM, AI MAU KETEMU KAK NINA.” Teriak Ai lebih kencang.

“SSSSTTT!!!!!Berisik tau!!!!” Ada suara seseorang dari balik tirai di sebelah tempat tidur Ai.

Ai menyingkap tirai itu dan Ai terkejut dengan apa yang dilihatnya.

“Berisik amat sih, aku nggak bisa tidur nih. Kamu ini memang selalu berisik ya.”

“Kak Nina.” Seru Ai senang.

“Memang siapa lagi.”

Mereka saling bertatapan dengan perasaan senang bercampur haru.

Kini Nina telah menemukan sebuah kata yang hilang dari hidupnya, dan ia akan terus menjaganya dengan penuh kasih sayang.

“Om Sbastian!!!!Awas ya beraninya ngerjain AI........”

“SSSTTT!!!BERISIK!!!Kakak mau tidur nih.”

Sh@

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas saran dan kritik yang membangun...terus simak kisah seru dari dhyvha_nAiNi ya....(^0^)V

 
Copyright 2009 Welcome to Cucuran Hati. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemesfree