Kamis, 02 Februari 2012

Kenapa kamu harus berbeda

Sore hari di kota Satria, lalu lintas yang tak begitu padat di sore hari yang sedikit mendung. Angkutan kota saling berebut mendapatkan penumpang yang baru pulang kerja ataupun yang pulang dari pusat perbelanjaan. Sedikit dari mereka memilih untuk naik taksi karena barang bawaan mereka yang banyak, meski mereka harus merogoh kocek yang lumayan.

Aryani memacu motor bebeknya melewati jalan Pencetus Kemerdekaan, ia baru pulang kerja, ia sengaja mengambil jalan itu karena lebih cepat menuju ke kampusnya. Ia baru mulai bekerja di toko komputer bang Andi sebulan lalu, bukan karyawan tetap, tetapi paruh waktu, sore hari ia kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kota itu.

Mahasiswi IT yang masuk semester lima ini memiliki seorang kakak yang memiliki kekurangan dalam pendengarannya yang dimiliki sejak lahir, terkadang ia merasa kasihan namun juga sebal karenanya, namun ibunya selalu bilang kepadanya saat ia benar-benar marah pada kakaknya. “Jangan salahkan kakakmu karena ia berbeda Yan, kau harus mengerti keadaannya.”

Selalu seperti itu, kakaknya tak pernah bersalah karena kekurangannya itu. Aryani memarkirkan motornya di halaman kampus, sepi, teman-temannya banyak yang belum datang.

Ia hendak masuk ke kelas namun diurungkannya ketika ia melihat Melly sedang berdiri di papan pengumuman. “Ada pengumuman apa Mel?”

“Oh, Jaringan Komputer kosong, Mr. Cool lagi ke Jakarta. Biasa, panggilan dari Microsoft.”

Namanya Adli, satu-satunya dosen yang kinclong dan masih muda yang multi talenta, dan juga merangkap sebagai karyawan di Microsoft. Dosen serba bisa, teman-teman Aryani menyebutnya Mr. Cool, karena dia memang keren. “Memangnya di tulis di papan pengumuman kalau dia ke Microsoft?”

“Ya, enggak sih.” Melly cengengesan, dia ini sahabat baik Aryani sejak ia masuk kuliah. “Mungkin aja dia memang ke Microsoft Ar, oya, gajian kapan nih?”

“Au ah, kalau begitu aku pulang deh.” Aryani hendak keluar ketika Beni tiba-tiba nongol dari depan pintu.

“Eh, ada ayang Aryan, mau kemana sih?”

“Pulang.”

“Eh ada betawi, tumben lu nongol.”

“Eh ada orang jawa, kok nggak berubah sih, dari dulu gitu-gitu aja.” Beni anak betawi yang jauh-jauh merantau ke jawa untuk mencari ilmu itu cuma cengengesan menanggapi gurauan Melly, anak cowok yang dekat dengan Aryani dan Melly ini memang nggak pernah bisa serius, sebenarnya ia menaruh hati dengan Aryani, namun Aryani tak pernah menganggapnya serius. “Ayang Aryan kok mau pulang sih, kan abang Beni baru dateng.”

“Udah sore abang Beni, udah ya, neng Aryani pulang dulu, dah.” Aryani menirukan logat Beni dengan sempurna, yang ditirukan hanya cengengesan saja.

“Hati-hati Ar.” Teriak Melly setelah Aryani suah cukup jauh, Aryani hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh dan langsung memacu motornya.

Langit semakin gelap, gerimis turun dari awan tebal yang menyelimuti langit. Aryani enggan untuk menghentikan motornya dan memakai mantel, ia hanya mengetatkan jaketnya dengan satu tangannya, sudah separuh jalan, tanggung, pikirnya begitu.

Di rumah ibu Aryani sedang menyulam di bangku teras rumahnya, dalam remang-remang cahaya karena memang sedang mati listrik, mata tuanya itu ia picing-picingkan karena agak sulit untuk melihat meski sudah dibantu dengan kacamata plus nya itu. Ditemani oleh Kakak Aryani, Ela yang sedang membaca buku resep masakan, ia sedang menunggu Aryani pulang, sudah kebiasannya seperti itu, ia akan sangat khawatir kalau sampai lewat dari jam lima sore Aryani belum pulang.

Begitu melihat motor Aryani masuk ke halaman rumah, Ela langsung menghambur menghampiri Aryani sambil menunjuk-nunjuk ke buku resep yang sedang ia baca, menunjukan sebuah resep masakan kepada Aryani, apa kau ingin kubuatkan? Katanya dalam bahasa isyarat.

Aryani hanya melihatnya sekilas lalu berlalu, menghampiri ibunya yang sedang duduk di bangku teras sambil menyalami tangan ibunya. “Mati listrik lagi bu?”

“Iya, sudah dari pukul empat tadi, mendung sedikit listrik pasti mati.” Sambil membetulkan letak kacamatanya itu. “Bawa apa kamu?” Menunjuk ke bungkusan yang Aryani bawa.

“Lauk untuk makan malam, tadi Aryani beli, ibu suka rendang kan? Aryani beliin buat ibu.”

“Kau nggak beliin untuk kakak mu?”

“Dia juga bisa buat sendiri.” Aryani masuk ke dalam rumah dan menyalakan beberapa lilin lalu menaruh lauk yang ia bawa ke dalam piring.

Ibunya hanya menggelengkan kepalanya, semenjak ditinggal ayahnya, Aryani menjadi dingin kepada kakaknya, ia menyalahkan kakaknya karena kematian ayahnya. Saat itu Ela ingin sekali membeli mainan masak-masakan seperti yang dimiliki oleh Dina anak tetangga mereka, padahal saat itu ayah baru pulang dari kerja dan sangat lelah, apalagi hujan sedang deras sekali, Ela mengamuk melemparkan barang-barang di depannya sambil menangis hebat. Aryani hanya bisa bersembunyi di kamar sementara ibunya menenangkan kakaknya itu.

Saat ayahnya akan pergi membelikan Ela mainan itu, Aryani berlari keluar untuk mencegah ayahnya pergi, seolah ia memiliki firasat buruk akan hal itu. “Sebentar saja nak, nanti kamu juga ayah belikan mainan ya, kamu mau mainan apa?”

Aryani menggeleng pelan, usianya baru lima tahun saat itu, ia memegangi kaki ayahnya erat, memandangi ayahnya, memohon agar ayah tidak pergi.

Ayah tersenyum bijak lalu menggendong Aryani kecil yang sedang terisak. “Sebentar saja ya, kasihan kakakmu, ia akan menangis selamaman kalau tidak ayah belikan, ayah janji akan belikan Yani boneka Barbie yang bagus.” Aryani hanya mengangguk pelan sambil masih terisak, Ayah mencium Aryani sebelum ia berangkat untuk membeli mainan dan sempat berpesan kepada ibu. “Jaga anak-anak dengan baik ya bu.”

Dan hal terakhir yang Aryani ingat adalah, ada seseorang yang datang kerumah, katanya ayah mendapat kecelakaan dan berada dirumah sakit. Ibu sendiri yang ke rumah sakit, ia menyuruh Yati tetangga mereka untuk menunggui Aryani dan Ela, semalaman ibu tidak pulang, Aryani pikir ibu juga pergi seperti ayah.

Pagi harinya, Aryani kaget karena banyak orang datang ke rumah, ia mencari-cari ayah, mungkin ayah pulang di antar oleh mereka, ia melihat ibunya masuk ke rumah dan menggendongnya sambil terisak, lalu membawanya masuk ke kamar. “Ayah mana bu?” Aryani bertanya dalam gendongan ibunya, sedangkan Ela sedang bermain dengan Yati tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi.

Ibu Aryani tak mampu menjawab pertanyaan Aryani, ia hanya memeluknya erat sambil menahan isaknya, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan apa yang terjadi. “Yani ingat kalau orang baik itu tempatnya dimana?” Tanya ibunya sambil berusaha menguasai suaranya. “Di samping Alloh. Ayah mana bu?” jawaban polos Aryani kecil membuat dada ibunya semakin sesak.

“Ayah sekarang sedang tidur di sisi Alloh nak, karena Ayah orang baik, jadi Aryani doakan Ayah ya, biar tidurnya nyenyak.” Ibu Aryani tak kuasa menahan tangisnya, ia peluk Aryani kecil sekuat-kuatnya untuk menahan gejolak dalam hatinya.

Aryani tahu persis apa yang dimaksud ibunya, ia memandang ke-arah kakaknya yang sedang asik bermain masak-masakan dengan mainan yang dibelikan oleh ayahnya itu, ia membencinya, benci karena Ela begitu tenang memainkan mainan yang membuat ayahnya pergi, Aryani menatap nanar ke arah boneka Barbie yang ada di meja, ia tak akan pernah memaafkan Ela karena kejadian itu.

Sh@


Hari minggu saatnya untuk santai karena Aryani tidak harus bekerja, toko komputer mas Andi tutup tiap hari minggu dan Aryani biasanya sengaja tidur lebih lama, badannya amat lelah setelah diperas untuk bekerja dan kuliah dari hari senin sampai hari sabtu.

Namun Aryani tak dapat mendapatkan tidur yang nyaman karena ia terpaksa bangun karena suara brisik kakaknya, Ela berteriak tepat di telinga Aryani sambil mengguncang tubuh Aryani dengan keras, ia ingin membangunkan Aryani namun, lagi-lagi dengan cara yang Aryani tidak suka.

Aryani marah besar diperlakukan seperti itu, ia mendorong Ela menjauh dari dirinya. “Pergi, jangan ganggu aku, urus saja urusanmu sendiri.” Aryani tidak harus menggunakan bahasa isyarat untuk berbicara pada Ela, karena sejak kecil ia dilatih untuk membaca gerak bibir orang. Aryani pernah meminta ibunya untuk membelikan alat bantu pendengaran untuk Ela agar dia tidak terlalu berisik dan berteriak seenaknya, tapi kata ibu, dokter bilang Ela tidak bisa memakainya, meskipun dipaksakan tidak akan membantu, karena lubang yang terdapat pada gendang telinga Ela begitu lebar, paling tidak ia harus dioperasi untuk dapat memakai alat bantu itu. Untuk apa operasi jika akhirnya pakai alat bantu juga, pikir Aryani.

Ela melangkah keluar dari kamar Aryani dengan sikap yang biasa, Ela tak pernah sekalipun ia ambil hati setiap kata-kata kasar Aryani, ia bisa paham bila Aryani marah, bila Aryani benci padanya, karena keadaannya ini, sedikit yang mau berteman dengannya. Salah satu keahliannya adalah memasak, setelah lulus sekolah di SMA SLB, ia meminta ibunya untuk memasukannya dalam kursus memasak.

Ela sadar, dengan keadaanya ini ia harus memiliki keahlian untuk dapat bertahan hidup kelak, dia berusaha keras untuk dapat memahami Aryani dan memberikan perhatian yang banyak untuk Aryani, namun tampaknya kebencian di hati Aryani terlalu besar kepada Ela hingga tak dapat melihat semua usaha kerasnya.

“Nggak mau bangun juga?” Ibu bertanya dengan lembut pada Ela, ibu memang selalu lembut.

Ela hanya menggeleng sambil tersenyum. Mungkin Aryani masih ngantuk dan lelah. Katanya dalam bahasa isyarat kepada ibunya.

“Kalau begitu sayang sekali, Aryani akan melewatkan sarapan lezat buatanmu.”

Tidak apa-apa, nanti Ela buatkan lagi untuk Aryani. Ela membersihkan sisa sarapan dan mencuci piring yang barusan dipakai.

Ibu menatap putrinya ini penuh iba, Ela mungkin tak pernah tahu alasan sebenarnya mengapa Aryani begitu benci padanya, namun ia tak pernah mengeluh dengan sikap dingin adiknya. Setiap hari ia buatkan Aryani makanan dari resep yang baru ia pelajari, menungguinya pulang dan akan sangat cemas bila Aryani belum pulang menjelang malam, bahkan ia membuatkan bekal untuknya, namun satu sendok pun Aryani tak pernah mencicipinya, ia akan memberikan bekal yang dibawakan untuknya itu kepada temannya, pulang pun ia membeli lauk sendiri.

Sh@

Pagi ini kuliah system berkas, Melly sudah nangkring di kelas, biasanya dia selalu datang terlambat tapi berhubung tetangga sebelah rumah sedang ada hajatan dia jadi bangun pagi deh. Beni hanya cengar-cengir melihat Melly sudah duduk di kelas lebih dulu, dengan mengelus-elus jenggotnya yang nggak panjang. “Idih, tumben lu berangkat pagian Jawa, yayang Aryani mane?” yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya, sepuluh menit lagi masuk tapi Aryani belum juga nongol.

Ternyata yang ditunggu-tunggu masih ada di rumah, Aryani sudah nangkring di sadel motor bebeknya sejak pagi, ia terpaksa harus menunggu kakaknya.

“Bu, Ela suruh cepat, Yani ada kuliah pagi.” Matahari semakin tinggi, Aryani sudah mulai kepanasan, keringatnya sudah mulai membasahi pelipisnya.

Ela keluar dari rumah dengan dandanan yang manis, mungkin kebanyakan anak yang memiliki kekurangan seperti Ela akan menggunakan pakaian seadanya, rok kedodoran, kacamata segede muka, dan rambut yang diikat kanan-kiri. Namun berbeda dengan Ela yang berdandan sangat modis, dia amat manis, dengan kemeja pink dan rok pendek sebatas lututnya, rambutnya pun ia sisir dengan rapih dan manis.

Aryani hanya melotot melihat Ela yang baru keluar dari rumah, setelah membuatnya menunggu satu jam, sebenarnya ia hendak meninggalkan Ela tapi, Ibu yang meminta tolong kepada Aryani untuk mengantar Ela ke tempat kursus, lebih tepatnya sedikit memaksa, karena mas Tarjo nggak bisa nganter Ela.

Mas Tarjo, supir ojek langganan Ela yang nganterin Ela kemanapun ia pergi. Awalnya, Ela pergi ke mana-mana sendiri, namun setelah kejadian naas yang hampir mencelakai Ela, Ibu memutuskan untuk melarang Ela pergi sendirian.

Saat itu, Ela pulang kursus agak larut, karena halte bis jauh dari tempat kursus Ela, dia terpaksa jalan kaki.

Sepi, Ela berjalan dengan sedikit takut, ia biasanya pulang bersama kawan-kawannya, namun sore tadi mereka sudah pulang, belum juga sampai, Ela sudah dicegat oleh preman daerah situ, susah payah Ela berusaha untuk berlari, namun langkah kecilnya itu dengan cepat di hentikan oleh tangan kekar para preman itu. Ela hendak berterak namun suaranya tersenggak, ia hampir saja diperkosa kalau Mas Tarjo tidak datang menolongnya.

Mas Tarjo yang pekerjaannya ngojek itu, kebetulan baru nganter penumpang di dekat tempat kursus Ela, melihat ada ribut-ribut Mas Tarjo berhenti untuk melihat dan setelah mengetahui bahwa Ela sedang dalam bahaya, Mas Tarjo dengan sigap langsung menolong.

Ela sangat syok dan tak mau keluar kamar selama satu minggu, ia mau keluar ketika Mas Tarjo yang mengantar, dan mulai saat itulah, Mas Tarjo diminta oleh Ibu untuk jadi ojek tetapnya Ela.

Aryani sempat merasa kasihan namun kemudian berubah menjadi kesal. “Di rumah saja, dia bisa teriak, di cegat preman malah nggak bisa teriak.”

Di tengah perjalanan Aryani sedikit mengomel, ia terpaksa putar jalur untuk mengantarkan Ela ke tempat kursus, ia harus ke arah stasiun sedang kampusnya berada jauh sebelum tempat kursus Ela.

Tanpa Aryani ketahui, ada seseorang yang melihatnya sedang memboncengkan Ela, seseorang yang kenal dengan dia. “Aryani, mau kemana dia?” di dalam mobil mercedesnya ia mengawasi Aryani dengan seksama, mereka sedang di traffic light di jalur yang berlawanan.

Melly baru saja akan menelpon Aryani saat Handphone miliknya bordering. Dari Aryani, batinnya.

“Halo.”

“Mel, aku nggak ke kampus hari ini, langsung ke toko bang Andi.”

“Ok, nanti sore aku ke rumah deh, ada yang mau aku bicarakan sama kamu.”

Beni yang mendengar pembicaraan mereka langsung angkat bicara setelah Melly menutup telpon. “Abang Ben ikut dong Jawa.” Dengan muka yang dibuat seimut mungkin, Melly hanya mengangguk kecil. “Emang hobi lu ngikut-ngikut kan.”

Sh@

Sore harinya Aryani menjemput Ela pulang kursus, ia terpaksa harus ijin pulang lebih awal kepada bang Andi, meski bang Andi bilang tidak apa-apa, Aryani tetap saja merasa tidak enak hati. “Nggak apa-apa lu pulang aje dulu, lagian tadi pagi juga lu berangkat lebih awal.” Kata bang Andi dengan logat betawinya.

“Makasih bang, aku pulang dulu kalau begitu.”

Bang Andi memang baik, Aryani bekerja di tokonya karena dikenalkan oleh Beni, mereka masih satu desa di betawi.

Aryani menjeput Ela di tempat kursusnya, agak sedikit memutar, ia mengambil jalan pintas melalui jalan merdeka, setelah meleati beberapa lampu lalu lintas ia berbelok ke arah perpustakaan daerah, tempat kursus Ela tak jauh dari perpustakaan.

Aryani menunggu di parkiran, ia sengaja tak masuk ke dalam, tak lama kemudian Ela keluar dari tempat kursus, tanpa berbasa-basi, Aryani langsung menjalankan motor bebek kesayangannya setelah Ela naik ke jok belakang.

Sesampainya di rumah, Beni dan Melly sudah menunggunya, mereka sedang asik minum es buah buatan Ibu di teras depan, ditemani dengan mendoan anget buatan Ibu yang tak kalah enak.

Ela melambaikan tangan kepada mereka, ia sangat gembira bila ada teman Aryani main ke rumah, pasti akan membuatkan mereka makanan yang enak.

Aryani memarkirkan motornya kemudian ikut nimbrung menikmati mendoan yang masih hangat.

“Jadi, kenapa tadi kamu nggak berangkat?” Melly memulai pembicaran setelah lama tak ada yang buka mulut.

“Kau tahu sendiri kan, tadi sudah ku jelaskan di telpon.”

“Ya, aku ingat, cuma ingin membuka pembicaraan saja, kau tahu, sedikit aneh tadi.”

“Ya, ngomong-ngomong, mana Beni, ke kamar kecilkok lama banget.”

Yang sedang dibicarakan sedang berada di dapur bersama Ela, Beni awalnya memang naksir sama Aryani tapi setelah ia mengenal Ela, Beni tertarik padanya, entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya tertarik.

Ela gadis yang mandiri dan dewasa, dia juga lucu, dan sangat sayang pada Aryani, meski usia mereka terpaut agak jauh, Beni tak keberatan sama sekali.

Ela sedang membuatkan minuman untuk mereka dan juga beberapa makanan kecil, dibantu oleh Beni.

“Ben?” Beni tersentak ketika Aryani memanggilnya dari teras, ia buru-buru cuci tangan. “Neng, abang Beni keluar dulu ye?” pamitnya, Ela hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.

“Lu ngapain lama-lama di dapur Ben, ngecengin kakaknya Aryani ye?” Melly bertanya dengan logat betawi yang di buat-buat.

“Napa si, kalo gue suka ama Ela nggak ape-ape kan, hak asasi non.” Timpal Beni, Aryani juga tahu kalau detik pertama Beni melihat Ela dia udah jatuh cinta, dan detik kedua ketika dia tau tentang Ela, dia semakin cinta, Aryani jadi ingin muntah mengingat kejadian itu. Beni terus menatapi Ela, hingga rasanya akan copot kalau Aryani tak menegurnya.

“Kalau kamu suka sama Ela, ngomong dong, tuh orangnya datang.” Aryani selalu berkata seperti itu, tapi Beni hanya tersenyum malu, kalau sudah begitu, Aryani akan semakin meledek Beni.

“El, Beni suka sama kamu tuh, mau jadi pacar Beni nggak?” Aryani bicara terus terang ketika Ela menyuguhkan makanan kecil dan es buah untuk mereka.

“Beni?” Ela bertanya-tanya.

Beni yang merasa sangat malu langsung menepisnya. “Aryani hanya bercanda El, kalaupun benar pasti aku ngomong langsung ke kamu.” Muka Beni terasa terbakar karena saking malunya.

“Kamu lucu Ben.” Ela hanya tersenyum lalu pergi meninggalkan mereka.

“Aku – kamu? Dari kapan lu ngomong bahasa Indonesia dengan baik dan benar Ben?” Melly meledek Beni yang benar-benar malu, Aryani tertawa lepas mendengar celoteh Melly.

“Udah Mel, jangan ledekin Beni terus, oya, kalian kesini mau bahas tentang UKM kan, ada apa?”

“Oya, Pak Adli ingin kita buat profil kampus, untuk lebih detailnya, besok pak Adli ingin ketemu sama anak-anak Beast Production.”

“Pak Adli? Hmm, kalau begitu besok kalian yang menghadap Pak Adli, soalnya aku ada kerjaan di tempat bang Andi.”

“Ok, besok aku dan Beni yang akan menghadap, Ok, Ben?”

“Ya, terserah lu aje dah.”

“Abang Beni, ngambek nih, tenang bang, Ela kagak kemane, masih di dapur tuh.” Aryani dan Melly tertawa terbahak-bahak, logat betawi Aryani hampir mendekati natural.

“Terserah apa lu kata dah.”

Sh@


Hujan deras tiba-tiba saja turun menggantikan sinar mentari yang terang benderang, moment yang paling menyakitkan bagi Aryani, moment dimana ayahnya harus pergi. Aryani memutar musik kesukaannya “A Comet Appears”, sengaja ia full-kan volumenya, dan memutar lagu itu terus menerus.

Ia duduk ditepi ranjangnya, memeluk boneka Barbie yang dibelikan ayahnya di malam naas itu, ia dekap erat box Barbie yang belum pernah ia buka.

Memutar kembali memori masa kecilnya, saat ayahnya menuntun tangan kecilnya menyusuri pinggiran sungai, mereka sedang piknik dan Aryani sangat senang, Ayah akan meledeknya dan berpura-pura hendak menceburkannya ke sungai, Aryani yang ketakutan akan berteriak sambil tertawa.

Ayah akan memeluknya saat ia merasa takut dan perlu perlindungan, bercerita tentang apa yang ayah lakukan seharian di tempat kerja, membuatkan rumah-rumahan untuk boneka Aryani, dan Ayah akan menggendongnya ke kamar saat ia tertidur ditengah-tengah film yang sedang mereka tonton.

Satu hal yang Aryani ingat, Ayah tak pernah pilih kasih antara Ela dan dirinya, meski Ela memiliki kekurangan, Ayah memperlakukan mereka secara imbang, memberikan kasih sayang dengan porsi yang sama.

Aryani tertidur di samping tempat tidurnya masih dengan box Barbie dalam pelukannya, hatinya pedih mengingat memori masa kecilnya itu, ia selalu berharap kejadian naas itu tak pernah terjadi.

Tin .. tin …

Sebuah mobil berhenti di dekat halte di mana Ela berdiri, ia sedang menunggu mas Tarjo yang masih belum nongol juga. Perlahan sang pemilik kendaraan membuka kaca. “Neng Ela, belum di jemput?”

Ela tersenyum melihat siapa yang menyapanya itu, Beni nyengir, kebetulan banget ia bisa ketemu Ela, emang jodoh nggak ke mana, batin Beni, untuk dia ikut kakak sepupunya jemput Lia di tempat kursus yang sama dengan Ela, dia jadi bisa ketemu sama Ela deh.

Belum, mas Tarjo lama, Ela udah nunggu dari satu jam lalu. Beni lagi ngapain, kok bisa ada di sini?”

“Jemput Lia, kenal sama Lia kan?”

Yang di sebut namanya tanpa sengaja membuka jendela dan menongolkan diri. “Hai Ela, mau bareng Lia? Lagian masih ujan gede, naik motor juga bakal basah.”

“Iya, bareng kita aja yuk.” Beni membujuk, sang penemudi mobil hanya tersenyum tanda setuju.

Oke, tapi Beni telpon Ibu Ela dulu ya, kasih tau Ela pulang sama Beni.”

Beni mengangguk cepat, ia langsung meraih telpon genggamnya dan menelpon Ibu Ela.

Sh@

to be continued ...

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas saran dan kritik yang membangun...terus simak kisah seru dari dhyvha_nAiNi ya....(^0^)V

 
Copyright 2009 Welcome to Cucuran Hati. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemesfree