I don't know but somehow, deep down I want to believe it, I want to block the fact that it's obvious what's happening with my life now, but I don't care about it as much as I can remember, no one did.
I just gladly took the poison and drink it and hopefully it didn't kill me, that is what my life is about, I keep saying that it's okay, but something is always not okay, it's my mind who play trick on me, said if it's okay to let him in and act like nothing happen when he left me, always said if I was ready for it, but the minute it happen, my heart take over, as if it fill with tremendouse mount of hurt that my mind wouldn't expect could be that much, the pain burst inside my heart make it way through my mind and produce alot of tears out of it, I barely breath with a heavily sob between my gasp, but when the wound heal slowly as the time pass by, my lips are know how to smile again.
Heart can break so many time, but it never make a sound, and how can we make it through is by simply felt it.
Selasa, 10 September 2013
Mark-01
Jumat, 26 Juli 2013
Something for everything
I would never understand about what my mom thinks or wants, it's like I'm the only one who can't read her and everybody else is could.
I try my best to take care the people that I love, but sometime my ego selfishnes got in the way, I don't talk about it, I think about it, when I'm about to mad, I take a deep breath and find some place to think, to clear my mind out of it, I just toke what my mom said to me and uh, and process it inside.
Something that my mom need to know, I have passion, but maybe I need to be more, giving.
Kamis, 02 Februari 2012
Kenapa kamu harus berbeda
Sore hari di kota Satria, lalu lintas yang tak begitu padat di sore hari yang sedikit mendung. Angkutan kota saling berebut mendapatkan penumpang yang baru pulang kerja ataupun yang pulang dari pusat perbelanjaan. Sedikit dari mereka memilih untuk naik taksi karena barang bawaan mereka yang banyak, meski mereka harus merogoh kocek yang lumayan.
Aryani memacu motor bebeknya melewati jalan Pencetus Kemerdekaan, ia baru pulang kerja, ia sengaja mengambil jalan itu karena lebih cepat menuju ke kampusnya. Ia baru mulai bekerja di toko komputer bang Andi sebulan lalu, bukan karyawan tetap, tetapi paruh waktu, sore hari ia kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kota itu.
Mahasiswi IT yang masuk semester lima ini memiliki seorang kakak yang memiliki kekurangan dalam pendengarannya yang dimiliki sejak lahir, terkadang ia merasa kasihan namun juga sebal karenanya, namun ibunya selalu bilang kepadanya saat ia benar-benar marah pada kakaknya. “Jangan salahkan kakakmu karena ia berbeda Yan, kau harus mengerti keadaannya.”
Selalu seperti itu, kakaknya tak pernah bersalah karena kekurangannya itu. Aryani memarkirkan motornya di halaman kampus, sepi, teman-temannya banyak yang belum datang.
Ia hendak masuk ke kelas namun diurungkannya ketika ia melihat Melly sedang berdiri di papan pengumuman. “Ada pengumuman apa Mel?”
“Oh, Jaringan Komputer kosong, Mr. Cool lagi ke Jakarta. Biasa, panggilan dari Microsoft.”
Namanya Adli, satu-satunya dosen yang kinclong dan masih muda yang multi talenta, dan juga merangkap sebagai karyawan di Microsoft. Dosen serba bisa, teman-teman Aryani menyebutnya Mr. Cool, karena dia memang keren. “Memangnya di tulis di papan pengumuman kalau dia ke Microsoft?”
“Ya, enggak sih.” Melly cengengesan, dia ini sahabat baik Aryani sejak ia masuk kuliah. “Mungkin aja dia memang ke Microsoft Ar, oya, gajian kapan nih?”
“Au ah, kalau begitu aku pulang deh.” Aryani hendak keluar ketika Beni tiba-tiba nongol dari depan pintu.
“Eh, ada ayang Aryan, mau kemana sih?”
“Pulang.”
“Eh ada betawi, tumben lu nongol.”
“Eh ada orang jawa, kok nggak berubah sih, dari dulu gitu-gitu aja.” Beni anak betawi yang jauh-jauh merantau ke jawa untuk mencari ilmu itu cuma cengengesan menanggapi gurauan Melly, anak cowok yang dekat dengan Aryani dan Melly ini memang nggak pernah bisa serius, sebenarnya ia menaruh hati dengan Aryani, namun Aryani tak pernah menganggapnya serius. “Ayang Aryan kok mau pulang sih, kan abang Beni baru dateng.”
“Udah sore abang Beni, udah ya, neng Aryani pulang dulu, dah.” Aryani menirukan logat Beni dengan sempurna, yang ditirukan hanya cengengesan saja.
“Hati-hati Ar.” Teriak Melly setelah Aryani suah cukup jauh, Aryani hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh dan langsung memacu motornya.
Langit semakin gelap, gerimis turun dari awan tebal yang menyelimuti langit. Aryani enggan untuk menghentikan motornya dan memakai mantel, ia hanya mengetatkan jaketnya dengan satu tangannya, sudah separuh jalan, tanggung, pikirnya begitu.
Di rumah ibu Aryani sedang menyulam di bangku teras rumahnya, dalam remang-remang cahaya karena memang sedang mati listrik, mata tuanya itu ia picing-picingkan karena agak sulit untuk melihat meski sudah dibantu dengan kacamata plus nya itu. Ditemani oleh Kakak Aryani, Ela yang sedang membaca buku resep masakan, ia sedang menunggu Aryani pulang, sudah kebiasannya seperti itu, ia akan sangat khawatir kalau sampai lewat dari jam lima sore Aryani belum pulang.
Begitu melihat motor Aryani masuk ke halaman rumah, Ela langsung menghambur menghampiri Aryani sambil menunjuk-nunjuk ke buku resep yang sedang ia baca, menunjukan sebuah resep masakan kepada Aryani, apa kau ingin kubuatkan? Katanya dalam bahasa isyarat.
Aryani hanya melihatnya sekilas lalu berlalu, menghampiri ibunya yang sedang duduk di bangku teras sambil menyalami tangan ibunya. “Mati listrik lagi bu?”
“Iya, sudah dari pukul empat tadi, mendung sedikit listrik pasti mati.” Sambil membetulkan letak kacamatanya itu. “Bawa apa kamu?” Menunjuk ke bungkusan yang Aryani bawa.
“Lauk untuk makan malam, tadi Aryani beli, ibu suka rendang kan? Aryani beliin buat ibu.”
“Kau nggak beliin untuk kakak mu?”
“Dia juga bisa buat sendiri.” Aryani masuk ke dalam rumah dan menyalakan beberapa lilin lalu menaruh lauk yang ia bawa ke dalam piring.
Ibunya hanya menggelengkan kepalanya, semenjak ditinggal ayahnya, Aryani menjadi dingin kepada kakaknya, ia menyalahkan kakaknya karena kematian ayahnya. Saat itu Ela ingin sekali membeli mainan masak-masakan seperti yang dimiliki oleh Dina anak tetangga mereka, padahal saat itu ayah baru pulang dari kerja dan sangat lelah, apalagi hujan sedang deras sekali, Ela mengamuk melemparkan barang-barang di depannya sambil menangis hebat. Aryani hanya bisa bersembunyi di kamar sementara ibunya menenangkan kakaknya itu.
Saat ayahnya akan pergi membelikan Ela mainan itu, Aryani berlari keluar untuk mencegah ayahnya pergi, seolah ia memiliki firasat buruk akan hal itu. “Sebentar saja nak, nanti kamu juga ayah belikan mainan ya, kamu mau mainan apa?”
Aryani menggeleng pelan, usianya baru lima tahun saat itu, ia memegangi kaki ayahnya erat, memandangi ayahnya, memohon agar ayah tidak pergi.
Ayah tersenyum bijak lalu menggendong Aryani kecil yang sedang terisak. “Sebentar saja ya, kasihan kakakmu, ia akan menangis selamaman kalau tidak ayah belikan, ayah janji akan belikan Yani boneka Barbie yang bagus.” Aryani hanya mengangguk pelan sambil masih terisak, Ayah mencium Aryani sebelum ia berangkat untuk membeli mainan dan sempat berpesan kepada ibu. “Jaga anak-anak dengan baik ya bu.”
Dan hal terakhir yang Aryani ingat adalah, ada seseorang yang datang kerumah, katanya ayah mendapat kecelakaan dan berada dirumah sakit. Ibu sendiri yang ke rumah sakit, ia menyuruh Yati tetangga mereka untuk menunggui Aryani dan Ela, semalaman ibu tidak pulang, Aryani pikir ibu juga pergi seperti ayah.
Pagi harinya, Aryani kaget karena banyak orang datang ke rumah, ia mencari-cari ayah, mungkin ayah pulang di antar oleh mereka, ia melihat ibunya masuk ke rumah dan menggendongnya sambil terisak, lalu membawanya masuk ke kamar. “Ayah mana bu?” Aryani bertanya dalam gendongan ibunya, sedangkan Ela sedang bermain dengan Yati tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi.
Ibu Aryani tak mampu menjawab pertanyaan Aryani, ia hanya memeluknya erat sambil menahan isaknya, mencoba mencari kekuatan untuk menjelaskan apa yang terjadi. “Yani ingat kalau orang baik itu tempatnya dimana?” Tanya ibunya sambil berusaha menguasai suaranya. “Di samping Alloh. Ayah mana bu?” jawaban polos Aryani kecil membuat dada ibunya semakin sesak.
“Ayah sekarang sedang tidur di sisi Alloh nak, karena Ayah orang baik, jadi Aryani doakan Ayah ya, biar tidurnya nyenyak.” Ibu Aryani tak kuasa menahan tangisnya, ia peluk Aryani kecil sekuat-kuatnya untuk menahan gejolak dalam hatinya.
Aryani tahu persis apa yang dimaksud ibunya, ia memandang ke-arah kakaknya yang sedang asik bermain masak-masakan dengan mainan yang dibelikan oleh ayahnya itu, ia membencinya, benci karena Ela begitu tenang memainkan mainan yang membuat ayahnya pergi, Aryani menatap nanar ke arah boneka Barbie yang ada di meja, ia tak akan pernah memaafkan Ela karena kejadian itu.
Sh@
Hari minggu saatnya untuk santai karena Aryani tidak harus bekerja, toko komputer mas Andi tutup tiap hari minggu dan Aryani biasanya sengaja tidur lebih lama, badannya amat lelah setelah diperas untuk bekerja dan kuliah dari hari senin sampai hari sabtu.
Namun Aryani tak dapat mendapatkan tidur yang nyaman karena ia terpaksa bangun karena suara brisik kakaknya, Ela berteriak tepat di telinga Aryani sambil mengguncang tubuh Aryani dengan keras, ia ingin membangunkan Aryani namun, lagi-lagi dengan cara yang Aryani tidak suka.
Aryani marah besar diperlakukan seperti itu, ia mendorong Ela menjauh dari dirinya. “Pergi, jangan ganggu aku, urus saja urusanmu sendiri.” Aryani tidak harus menggunakan bahasa isyarat untuk berbicara pada Ela, karena sejak kecil ia dilatih untuk membaca gerak bibir orang. Aryani pernah meminta ibunya untuk membelikan alat bantu pendengaran untuk Ela agar dia tidak terlalu berisik dan berteriak seenaknya, tapi kata ibu, dokter bilang Ela tidak bisa memakainya, meskipun dipaksakan tidak akan membantu, karena lubang yang terdapat pada gendang telinga Ela begitu lebar, paling tidak ia harus dioperasi untuk dapat memakai alat bantu itu. Untuk apa operasi jika akhirnya pakai alat bantu juga, pikir Aryani.
Ela melangkah keluar dari kamar Aryani dengan sikap yang biasa, Ela tak pernah sekalipun ia ambil hati setiap kata-kata kasar Aryani, ia bisa paham bila Aryani marah, bila Aryani benci padanya, karena keadaannya ini, sedikit yang mau berteman dengannya. Salah satu keahliannya adalah memasak, setelah lulus sekolah di SMA SLB, ia meminta ibunya untuk memasukannya dalam kursus memasak.
Ela sadar, dengan keadaanya ini ia harus memiliki keahlian untuk dapat bertahan hidup kelak, dia berusaha keras untuk dapat memahami Aryani dan memberikan perhatian yang banyak untuk Aryani, namun tampaknya kebencian di hati Aryani terlalu besar kepada Ela hingga tak dapat melihat semua usaha kerasnya.
“Nggak mau bangun juga?” Ibu bertanya dengan lembut pada Ela, ibu memang selalu lembut.
Ela hanya menggeleng sambil tersenyum. Mungkin Aryani masih ngantuk dan lelah. Katanya dalam bahasa isyarat kepada ibunya.
“Kalau begitu sayang sekali, Aryani akan melewatkan sarapan lezat buatanmu.”
Tidak apa-apa, nanti Ela buatkan lagi untuk Aryani. Ela membersihkan sisa sarapan dan mencuci piring yang barusan dipakai.
Ibu menatap putrinya ini penuh iba, Ela mungkin tak pernah tahu alasan sebenarnya mengapa Aryani begitu benci padanya, namun ia tak pernah mengeluh dengan sikap dingin adiknya. Setiap hari ia buatkan Aryani makanan dari resep yang baru ia pelajari, menungguinya pulang dan akan sangat cemas bila Aryani belum pulang menjelang malam, bahkan ia membuatkan bekal untuknya, namun satu sendok pun Aryani tak pernah mencicipinya, ia akan memberikan bekal yang dibawakan untuknya itu kepada temannya, pulang pun ia membeli lauk sendiri.
Sh@
Pagi ini kuliah system berkas, Melly sudah nangkring di kelas, biasanya dia selalu datang terlambat tapi berhubung tetangga sebelah rumah sedang ada hajatan dia jadi bangun pagi deh. Beni hanya cengar-cengir melihat Melly sudah duduk di kelas lebih dulu, dengan mengelus-elus jenggotnya yang nggak panjang. “Idih, tumben lu berangkat pagian Jawa, yayang Aryani mane?” yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya, sepuluh menit lagi masuk tapi Aryani belum juga nongol.
Ternyata yang ditunggu-tunggu masih ada di rumah, Aryani sudah nangkring di sadel motor bebeknya sejak pagi, ia terpaksa harus menunggu kakaknya.
“Bu, Ela suruh cepat, Yani ada kuliah pagi.” Matahari semakin tinggi, Aryani sudah mulai kepanasan, keringatnya sudah mulai membasahi pelipisnya.
Ela keluar dari rumah dengan dandanan yang manis, mungkin kebanyakan anak yang memiliki kekurangan seperti Ela akan menggunakan pakaian seadanya, rok kedodoran, kacamata segede muka, dan rambut yang diikat kanan-kiri. Namun berbeda dengan Ela yang berdandan sangat modis, dia amat manis, dengan kemeja pink dan rok pendek sebatas lututnya, rambutnya pun ia sisir dengan rapih dan manis.
Aryani hanya melotot melihat Ela yang baru keluar dari rumah, setelah membuatnya menunggu satu jam, sebenarnya ia hendak meninggalkan Ela tapi, Ibu yang meminta tolong kepada Aryani untuk mengantar Ela ke tempat kursus, lebih tepatnya sedikit memaksa, karena mas Tarjo nggak bisa nganter Ela.
Mas Tarjo, supir ojek langganan Ela yang nganterin Ela kemanapun ia pergi. Awalnya, Ela pergi ke mana-mana sendiri, namun setelah kejadian naas yang hampir mencelakai Ela, Ibu memutuskan untuk melarang Ela pergi sendirian.
Saat itu, Ela pulang kursus agak larut, karena halte bis jauh dari tempat kursus Ela, dia terpaksa jalan kaki.
Sepi, Ela berjalan dengan sedikit takut, ia biasanya pulang bersama kawan-kawannya, namun sore tadi mereka sudah pulang, belum juga sampai, Ela sudah dicegat oleh preman daerah situ, susah payah Ela berusaha untuk berlari, namun langkah kecilnya itu dengan cepat di hentikan oleh tangan kekar para preman itu. Ela hendak berterak namun suaranya tersenggak, ia hampir saja diperkosa kalau Mas Tarjo tidak datang menolongnya.
Mas Tarjo yang pekerjaannya ngojek itu, kebetulan baru nganter penumpang di dekat tempat kursus Ela, melihat ada ribut-ribut Mas Tarjo berhenti untuk melihat dan setelah mengetahui bahwa Ela sedang dalam bahaya, Mas Tarjo dengan sigap langsung menolong.
Ela sangat syok dan tak mau keluar kamar selama satu minggu, ia mau keluar ketika Mas Tarjo yang mengantar, dan mulai saat itulah, Mas Tarjo diminta oleh Ibu untuk jadi ojek tetapnya Ela.
Aryani sempat merasa kasihan namun kemudian berubah menjadi kesal. “Di rumah saja, dia bisa teriak, di cegat preman malah nggak bisa teriak.”
Di tengah perjalanan Aryani sedikit mengomel, ia terpaksa putar jalur untuk mengantarkan Ela ke tempat kursus, ia harus ke arah stasiun sedang kampusnya berada jauh sebelum tempat kursus Ela.
Tanpa Aryani ketahui, ada seseorang yang melihatnya sedang memboncengkan Ela, seseorang yang kenal dengan dia. “Aryani, mau kemana dia?” di dalam mobil mercedesnya ia mengawasi Aryani dengan seksama, mereka sedang di traffic light di jalur yang berlawanan.
Melly baru saja akan menelpon Aryani saat Handphone miliknya bordering. Dari Aryani, batinnya.
“Halo.”
“Mel, aku nggak ke kampus hari ini, langsung ke toko bang Andi.”
“Ok, nanti sore aku ke rumah deh, ada yang mau aku bicarakan sama kamu.”
Beni yang mendengar pembicaraan mereka langsung angkat bicara setelah Melly menutup telpon. “Abang Ben ikut dong Jawa.” Dengan muka yang dibuat seimut mungkin, Melly hanya mengangguk kecil. “Emang hobi lu ngikut-ngikut kan.”
Sh@
Sore harinya Aryani menjemput Ela pulang kursus, ia terpaksa harus ijin pulang lebih awal kepada bang Andi, meski bang Andi bilang tidak apa-apa, Aryani tetap saja merasa tidak enak hati. “Nggak apa-apa lu pulang aje dulu, lagian tadi pagi juga lu berangkat lebih awal.” Kata bang Andi dengan logat betawinya.
“Makasih bang, aku pulang dulu kalau begitu.”
Bang Andi memang baik, Aryani bekerja di tokonya karena dikenalkan oleh Beni, mereka masih satu desa di betawi.
Aryani menjeput Ela di tempat kursusnya, agak sedikit memutar, ia mengambil jalan pintas melalui jalan merdeka, setelah meleati beberapa lampu lalu lintas ia berbelok ke arah perpustakaan daerah, tempat kursus Ela tak jauh dari perpustakaan.
Aryani menunggu di parkiran, ia sengaja tak masuk ke dalam, tak lama kemudian Ela keluar dari tempat kursus, tanpa berbasa-basi, Aryani langsung menjalankan motor bebek kesayangannya setelah Ela naik ke jok belakang.
Sesampainya di rumah, Beni dan Melly sudah menunggunya, mereka sedang asik minum es buah buatan Ibu di teras depan, ditemani dengan mendoan anget buatan Ibu yang tak kalah enak.
Ela melambaikan tangan kepada mereka, ia sangat gembira bila ada teman Aryani main ke rumah, pasti akan membuatkan mereka makanan yang enak.
Aryani memarkirkan motornya kemudian ikut nimbrung menikmati mendoan yang masih hangat.
“Jadi, kenapa tadi kamu nggak berangkat?” Melly memulai pembicaran setelah lama tak ada yang buka mulut.
“Kau tahu sendiri kan, tadi sudah ku jelaskan di telpon.”
“Ya, aku ingat, cuma ingin membuka pembicaraan saja, kau tahu, sedikit aneh tadi.”
“Ya, ngomong-ngomong, mana Beni, ke kamar kecilkok lama banget.”
Yang sedang dibicarakan sedang berada di dapur bersama Ela, Beni awalnya memang naksir sama Aryani tapi setelah ia mengenal Ela, Beni tertarik padanya, entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya tertarik.
Ela gadis yang mandiri dan dewasa, dia juga lucu, dan sangat sayang pada Aryani, meski usia mereka terpaut agak jauh, Beni tak keberatan sama sekali.
Ela sedang membuatkan minuman untuk mereka dan juga beberapa makanan kecil, dibantu oleh Beni.
“Ben?” Beni tersentak ketika Aryani memanggilnya dari teras, ia buru-buru cuci tangan. “Neng, abang Beni keluar dulu ye?” pamitnya, Ela hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Lu ngapain lama-lama di dapur Ben, ngecengin kakaknya Aryani ye?” Melly bertanya dengan logat betawi yang di buat-buat.
“Napa si, kalo gue suka ama Ela nggak ape-ape kan, hak asasi non.” Timpal Beni, Aryani juga tahu kalau detik pertama Beni melihat Ela dia udah jatuh cinta, dan detik kedua ketika dia tau tentang Ela, dia semakin cinta, Aryani jadi ingin muntah mengingat kejadian itu. Beni terus menatapi Ela, hingga rasanya akan copot kalau Aryani tak menegurnya.
“Kalau kamu suka sama Ela, ngomong dong, tuh orangnya datang.” Aryani selalu berkata seperti itu, tapi Beni hanya tersenyum malu, kalau sudah begitu, Aryani akan semakin meledek Beni.
“El, Beni suka sama kamu tuh, mau jadi pacar Beni nggak?” Aryani bicara terus terang ketika Ela menyuguhkan makanan kecil dan es buah untuk mereka.
“Beni?” Ela bertanya-tanya.
Beni yang merasa sangat malu langsung menepisnya. “Aryani hanya bercanda El, kalaupun benar pasti aku ngomong langsung ke kamu.” Muka Beni terasa terbakar karena saking malunya.
“Kamu lucu Ben.” Ela hanya tersenyum lalu pergi meninggalkan mereka.
“Aku – kamu? Dari kapan lu ngomong bahasa Indonesia dengan baik dan benar Ben?” Melly meledek Beni yang benar-benar malu, Aryani tertawa lepas mendengar celoteh Melly.
“Udah Mel, jangan ledekin Beni terus, oya, kalian kesini mau bahas tentang UKM kan, ada apa?”
“Oya, Pak Adli ingin kita buat profil kampus, untuk lebih detailnya, besok pak Adli ingin ketemu sama anak-anak Beast Production.”
“Pak Adli? Hmm, kalau begitu besok kalian yang menghadap Pak Adli, soalnya aku ada kerjaan di tempat bang Andi.”
“Ok, besok aku dan Beni yang akan menghadap, Ok, Ben?”
“Ya, terserah lu aje dah.”
“Abang Beni, ngambek nih, tenang bang, Ela kagak kemane, masih di dapur tuh.” Aryani dan Melly tertawa terbahak-bahak, logat betawi Aryani hampir mendekati natural.
“Terserah apa lu kata dah.”
Sh@
Hujan deras tiba-tiba saja turun menggantikan sinar mentari yang terang benderang, moment yang paling menyakitkan bagi Aryani, moment dimana ayahnya harus pergi. Aryani memutar musik kesukaannya “A Comet Appears”, sengaja ia full-kan volumenya, dan memutar lagu itu terus menerus.
Ia duduk ditepi ranjangnya, memeluk boneka Barbie yang dibelikan ayahnya di malam naas itu, ia dekap erat box Barbie yang belum pernah ia buka.
Memutar kembali memori masa kecilnya, saat ayahnya menuntun tangan kecilnya menyusuri pinggiran sungai, mereka sedang piknik dan Aryani sangat senang, Ayah akan meledeknya dan berpura-pura hendak menceburkannya ke sungai, Aryani yang ketakutan akan berteriak sambil tertawa.
Ayah akan memeluknya saat ia merasa takut dan perlu perlindungan, bercerita tentang apa yang ayah lakukan seharian di tempat kerja, membuatkan rumah-rumahan untuk boneka Aryani, dan Ayah akan menggendongnya ke kamar saat ia tertidur ditengah-tengah film yang sedang mereka tonton.
Satu hal yang Aryani ingat, Ayah tak pernah pilih kasih antara Ela dan dirinya, meski Ela memiliki kekurangan, Ayah memperlakukan mereka secara imbang, memberikan kasih sayang dengan porsi yang sama.
Aryani tertidur di samping tempat tidurnya masih dengan box Barbie dalam pelukannya, hatinya pedih mengingat memori masa kecilnya itu, ia selalu berharap kejadian naas itu tak pernah terjadi.
Tin .. tin …
Sebuah mobil berhenti di dekat halte di mana Ela berdiri, ia sedang menunggu mas Tarjo yang masih belum nongol juga. Perlahan sang pemilik kendaraan membuka kaca. “Neng Ela, belum di jemput?”
Ela tersenyum melihat siapa yang menyapanya itu, Beni nyengir, kebetulan banget ia bisa ketemu Ela, emang jodoh nggak ke mana, batin Beni, untuk dia ikut kakak sepupunya jemput Lia di tempat kursus yang sama dengan Ela, dia jadi bisa ketemu sama Ela deh.
“Belum, mas Tarjo lama, Ela udah nunggu dari satu jam lalu. Beni lagi ngapain, kok bisa ada di sini?”
“Jemput Lia, kenal sama Lia kan?”
Yang di sebut namanya tanpa sengaja membuka jendela dan menongolkan diri. “Hai Ela, mau bareng Lia? Lagian masih ujan gede, naik motor juga bakal basah.”
“Iya, bareng kita aja yuk.” Beni membujuk, sang penemudi mobil hanya tersenyum tanda setuju.
“Oke, tapi Beni telpon Ibu Ela dulu ya, kasih tau Ela pulang sama Beni.”
Beni mengangguk cepat, ia langsung meraih telpon genggamnya dan menelpon Ibu Ela.
Sh@
Sabtu, 31 Desember 2011
Bendera di hari 17
para pecinta dunia khayal, akhirnya setelah sekian lama, Moe mulai nulis cerpen lagi, well, walaupun novel Moe masih belom kelar, semoga cerpen ini bisa mengobati rasa penasaran kalian sama karya Moe ... ok ok ok, selamat menikmati ... huhu ...
Jo menggandeng tangan adiknya, menuntunnya pelan, mereka hendak pergi untuk mengamen, kedua anak yatim piatu ini hanya hidup berdua, adik Jo, Nela baru berusia enam tahun, meski tak pernah sekalipun mengecap bangku sekolah karena sejak umur tiga tahun ia sudah ditinggal oleh kedua orang tua mereka karena kecelakaan, tak mengurangi rasa kecintaan dan rasa hormat pada negeri ini.
Jo yang pernah merasakan bangku sekolah meski hanya sampai kelas dua SD, sering mengajarkan adiknya membaca, menulis, dan member pengetahuan kepada Nela, bahwa tanah yang ia injak adalah tanah Indonesia.
Hari itu, mereka seperti biasa akan mengamen di perempatan lampu merah, adik Jo sudah merasa tak enak badan dari tiga hari lalu, badannya amat kurus dan pucat, dan sudah tiga hari ini ia tak makan apapun, Jo hanya bisa membelikannya kerupuk dan air putih.
Satu minggu menjelang hari kemerdekaan, semua sekolah sibuk mempersiapkan siswa mereka untuk pawai dan mengikuti upacara, hari senin biasanya semua sekolah melakukan upacara bendera sebelum mulai pelajaran, Jo dan Nela tak sengaja melewati sebuah sekolah SD yang sedang melaksanakan upacara bendera.
“Hormaaaaat, Grak!” teriak sang kapten upacara, Nela mendadak menahan tangan Jo, menatap ke arah Jo, seolah mengerti Jo akhirnya menghentikan langkahnya, mereka berdua ikut menghormati sang merah putih yang sedang di kibarkan.
Nela merasa masgyul, matanya berkaca-kaca, ia ingin mengibarkan sang merah putih dengan kakaknya di hari peringatan kemerdekaan yang merupakan hari ulang tahunnya, ia akan sangat bangga kalau hari itu ia bisa mengibarkan sang merah putih dengan tangannya.
Setelah upacara selesai, mereka melanjutkan kembali perjalanan mereka, di tengah perjalanan Nela mengungkapkan keinginannya mengibarkan bendera di hari ulang tahunnya kepada Jo. “Mas, aku ingin mengibarkan bendera sendiri di tanggal 17 nanti.” Kata-kata polos yang keluar dari mulut gadis kecil, Jo tersenyum arif. “Insya Alloh, mas usahakan Nela bisa punya bendera sendiri untuk dikibarkan.”
“Beneran mas?. Nela bisa ngibarin bendera di ulang tahun Nela.” Nela merasakan percikan kebahagiaan itu sekarang, membayangkan dirinya berdiri di tiang bendera buatan kakaknya, mengibarkan dan memberi hormat kepada sang merah putih.
Sh@
Untuk anak usia 10 tahun, Jo sudah melewati banyak hal berat, namun satu yang menjadi alasannya untuk terus bersabar menghadapi kerasnya hidup, Nela, adik kecilnya yang amat ia sayangi.
Terkadang ia merasa sangat bersalah ketika ia pulang dan tak bisa membawakan Nela makanan, membelikan baju baru, atau sekedar minuman soda kesukaan Nela.
Nela tak banyak meminta, ia akan menerima apa yang diberikan oleh kakaknya, tak pernah mengeluh jika ia lapar atau sakit, ia akan tersenyum kepada kakaknya dan mengatakan bahwa dia tidak apa-apa.
Untuk pertama kalinya, Nela meminta hadiah kepadanya, hadiah sederhana yang sangat berharga bagi Nela, dan Jo akan berusaha untuk mendapatkannya.
Sh@
Hari ini, Jo berangkat mengamen sendirian, Nela sedang sakit, badannya panas, sebenarnya ia tak tega untuk meninggalkan Nela sendirian tapi Nela bersikeras untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak apa-apa. “Udah sanah, Mas berangkat saja, nanti malah rejekinya dipatok ayam lagi.”
Akhirnya ia berangkat ngamen, setelah mewanti-wanti Nela ini dan itu.
Jo, mengamen tidak hanya di perempatan lampu lalu lintas saja, dia mencoba untuk mengamen di toko-toko atau pun dari rumah ke rumah, ia ingin mendapat lebih banyak uang untuk membeli bendera, beruntung ia mendapat uang lebih untuk membelikan Nela obat.
Mencari uang dengan mengamen di kota berkembang sangat sulit, kebanyakan toko-toko hanya melambaikan tangan dan menyuruhnya pergi, di perempatan lampu lalu lintas, para pengendara motor akan menurunkan kaca helm mereka dan berpaling ke arah lain, pengendara mobil pun sama, mereka akan merapatkan kaca mobil mereka dan melambaikan tangan mereka, hanya satu atau dua orang saja yang mau memberinya uang logam, yang lainnya ada yang berceloteh kasar. “Sekolah yang benar, jangan jadi tukang minta-minta, bekerja itu tanggungan orang tuamu, dasar pemalas.”
Di katai seperti itu, Jo hanya tersenyum sambil mengangguk hormat dan meninggalkan orang itu.
Sh@
Panas terik memanggang tubuh kurus Jo, ia hendak menunaikan sholat dhuhur di masjid di daerah stasiun timur, ia mengeluarkan bungkusan kresek berisi baju koko dan sarung lusuh satu-satunya yang selalu ia bawa, membersihkan dirinya di kamar mandi masjid.
Selesai menunaikan kewajibannya, Jo melanjutkan kembali rutinitasnya mengamen.
Baru saja ia hendak keluar dari masjid, seorang penjaga masjid memanggilnya.
“Bapak memanggil saya?” Tanya Jo ragu kepada bapak setengah baya yang sudah berada di depannya.
“Ini ada makanan lebih, kebetulan saya kebagian dua bungkus nasi untuk makan siang.”
“Ta, tapi pak …” Jo ragu untuk mengambil bungkusan yang disodorkan oleh bapak itu, ia tak pernah sekalipun menerima sesuatu dengan percuma, ia selalu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu.
“Ambil saja, nggak usah ragu, rejeki buat kamu.”
Jo menatap orang itu, ragu untuk menerima bungkusan itu, dalam pikirannya berkecamuk, ini makanan halal dan ia bisa memberikan makanan itu untuk Nela, ia membutuhkannya.
“Terima saja nak, Insya Alloh, bapak ikhlas.” Sambil memberikan bungkusan makanan itu kepada Jo.
“Terimakasih banyak pak, terimakasih.” Jo sungguh merasa sangat bersyukur, karena Nela akhirnya bisa makan nasi untuk pertama kalinya setelah satu minggu ini ia hanya makan kerupuk terkadang roti bungkus yang di bagi berdua dengannya. “Alhamdulillah ya Allah.”
Dalam perjalanan pulang, Jo melihat ada penjual bendera, satu minggu menjelang hari peringatan kemerdekaan, banyak penjual bendera dadakan.
Jo teringat akan Nela, ia melihat uang yang sudah ia dapat hari ini, menggenggamnya erat dalam genggamannya.
“Mas, boleh tahu harga benderanya berapa?” Tanya Jo ragu-ragu.
“Yang mana?” Tanya sang penjual ketus.
“Yang itu mas, yang biasa di pakai untuk di kerek di tiang bendera mas.” Kata Jo menunjuk ke arah bendera yang dimaksud.
“Duapuluh ribu.” Katanya acuh sambil meladeni pembeli lain sambil berkata sangat manis dan sopan. “Oh, yang ini kualitas bagus pak, di jamin awet, murah lagi, cuma tiga puluh lima ribu pak.”
Jo hanya menggeleng kepala sambil berlalu pergi, mas penjual bendera itu memang pintar, mencari keuntungan kepada orang kaya yang kebetulan mampir untuk membeli bendera dagangannya.
Jo menghitung uang yang ia dapat hari ini dalam perjalanannya, uang receh yang berhasil ya kumpulkan hari ini. “Lima ribu rupiah, Alhamdulillah, bisa beli obat untuk Nela, jika besok bisa dapat jumlah yang sama, minggu depan Nela bisa mengibarkan benderanya sendiri.”
Sh@
Nela bergumam tak karuan, panasnya tinggi, badannya merasa tak karuan, ia berharap Jo cepat pulang.
Tak lama kemudian Jo pulang, Nela menglela nafas lega. Jo meletakan barang-barang bawaannya, ia mendekati adiknya mengelus rambutnya. “De’.” Bisiknya lembut. “Mas pulang, bangun ya, makan dulu.” Jo mengambil bungkusan nasi yang diberikan penjaga masjid kepadanya.
Nela mengerjap-ejapkan matanya, ia merasa berat untuk membuka matanya, mukanya terasa panas, matanya sedikit perih untuk membuka, badannya terasa sangat berat. Jo yang membantunya untuk bangun, menyenderkannya.
“Makan dulu ya De’, tadi Mas dapat rejeki, dikasih satu bungkus nasi oleh penjaga masjid yang biasa Mas datangi.”
“Mas sudah makan?” Kalimat pertama yang terucap dari bibir mungilnya itu membuat Jo tersenyum arif. “Mas sudah makan.” Kata Jo lembut.
“Bohong, Nela tahu Mas nggak punya duit buat beli nasi, soalnya mas udah beli obat buat Nela, tuh.” Nela menunjuk obat warung yang tergeletak tak jauh dari kakinya. “Kalau Mas nggak makan, Nela juga nggak mau.”
“Iya deh, adik Mas ini ,kok perhatiannya selangit ya, yang lagi sakit juga siapa.” Kata Jo bijak sambil menyuapi Nela.
Nela susah payah mengambil nasi untuk di suapkan kepada Jo, dengan sedikit lemas.
“Habis ini Nela makan obat ya, biar badannya nggak sakit lagi.” Nela hanya mengangguk pelan, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, ia sudah cukup senang bisa makan bersama kakaknya.
Sh@
Besok hari peringatan kemerdekaan, Jo masih belum bisa mendapatkan bendera untuk Nela, sedangkan ia tak tega untuk meninggalkan Nela sendirian, panasnya tak kunjung turun, membuatnya semakin khawatir.
Nela menatap Jo nanar, ia merasa bersalah, kini yang ada dalam pikirannya adalah, Mas-nya ini sedang bingung, memikirkan dirinya yang tak sembuh-sembuh dan memikirkan bendera untuk hadiah ulang tahunnya nanti.
“Mas, benderanya nggak usah nggak apa-apa, masih ada tahun depan, mas nggak usah khawatir.”
“Nggak, Mas harus bisa dapetin bendera itu, karena besok hari istimewa buat Nela dan Negara ini.”
“Kalau begitu mas berangkat aja, Nela nggak apa-apa ditinggal sendiri, toh kalau Nela ikut, Nela akan menyusahkan Mas nanti.”
Nela memang unik, seolah ia bisa membaca pikiran kakaknya, ia tak ingin membuat kakaknyakhawatir berlebihan kepadanya. “Sudah, berangkat sanah, bawa pulang benderanya ya mas.” Nela tersenyum dengan penuh semangat membara dalam dirinya, memberikan kekuatan dan semangatnya kepada Jo.
“Tunggu mas pulang ya.” Jo bergegas pergi, ia tak ingin menyia-nyiakan waktunya, ia membawa uang sepuluh ribu yang sudah ia kumpulkan selama dua minggu ini, ia berharap bisa membelikan Nela bendera.
Sh@
Jo berlari dalam teriknya matahari, se-gerombolan orang sedang mengejarnya, peluh dan keringat mengucur, rasanya ia tak sanggup lagi untuk berlari, namun orang-orang itu semakin dekat, Jo panik, ia tak tahu harus lari kemana lagi, ia masuk ke pelataran masjid di daerah stasiun timur, belum sempat ia bersembunyi, orang-orang itu sudah berhasil menangkapnya.
Sedetik kemudian, Jo merasakan tubuh kecilnya itu di hujam oleh tinjuan dari mereka, sambil meneriakinya dan mencacinya.
Melihat ada keributan, para jama’ah dari dalam masjid berhamburan keluar, ada yang langsung mengambil kamera handphone-nya untuk merekam kejadian itu, ada pula yang hanya melihat, namun banyak juga yang ikut meneriakinya tanpa tahu apa yang terjadi.
Penjaga masjid yang mengetahui siapa yang sedang dipukuli langsung melerai mereka dan menyeret Jo keluar dari kerumunan. “Ada apa ini, main hakim sendiri di depan masjid, Astaghfirullah, kalian ini punya etika atau tidak ha?” Bentak penjaga masjid itu. “Kau tak apa-apa nak?” katanya kepada Jo yang hanya bisa mengangguk pelan.
“Dia ini pencuri pak, ia mencoba mencuri bendera di rumah bapak ini.” Seorang yang tinggi besar dengan suara parau itu angkat bicara.
“Saya melihatnya mengambil bendera di depan rumah saya.” Kata bapak yang merasa kecurian.
Penjaga masjid itu menatap Jo yang sudah babak belur. “Benar nak, apa yang dikatakan mereka, apa benar?”
Jo menggeleng pelan, ia merasakan mukanya begitu panas dan basah, entah karena keringat atau karena darah yang mengucur dari bekas pukulan mereka.
“Alah, bohong, mana ada maling ngaku.” Seru salah seorang dari balik kerumunan yang memancing keributan.
“Tenang, kita dengarkan dulu penjelasannya, di samping itu, kita berada di masjid, jaga etika kalian.” Kata penjaga masjid itu.
“Saya tidak akan pernah mencuri, demi ALLAH, saya sedang melihat ada seseorang yang hendak mengambil bendera bapak, dan ketika saya tegur ia melemparkan benderanya kepada saya, dan yang saya ingat, saya sudah berlari diteriaki maling oleh kalian.”
“Kalian dengar itu, saya kenal anak ini, dia sering ke masjid ini untuk sholat, dan setahu saya, dia tak pernah sekalipun meminta, apalagi mencuri. Jadi lebih baik kaliah bubar, urus saja urusan kalian.” Penjaga masjid itu membawa Jo ke rumahnya yang berada persis disebelah masjid, meninggalkan kerumunan yang perlahan bubar dengan keluhan mereka karena tak puas dengan hasil yang didapat.
“Kau tak apa-apa nak, istirahatlah dulu disini, istri bapak akan merawatmu.”
“Saya tidak apa-apa pak, saya harus pulang, adik saya di rumah sendirian.”
“Sebenarnya apa yang terjadi nak?” Tanya penjaga itu.
“Bapak juga nggak percaya sama saya?, saya tidak akan pernah mencuri, saya hanya sedang bingung, dengan uang sepuluh ribu ini, saya tidak bisa membelikan adik saya bendera.”
“Bendera?”
“Besok adalah ulang tahun adik saya, dia ingin bisa mengibarkan bendera untuk Negara ini, ia ingin merayakan ulang tahunnya yang bertepatan dengan hari kemerdekaan.” Jo menghela napas dalam. “Untuk sesaat saya berfikiran untuk mengambil bendera itu, tapi saya urungkan karena saya masih memiliki Iman dalam hati saya.”
“Istirahatlah nak, besok pagi baru kamu bisa pulang.” Kata penjaga masjid itu.
“Tapi adik saya sendirian, dan dia sedang sakit pak.”
“Tunggu sampai besok pagi, bapak yakin dia baik-baik saja.”
Sh@
Nela menggigil dan mengigau memanggil-manggil nama kakaknya, suhu tubuhnya semakin meningkat, ia merasakan sakit disekujur tubuhnya.
Nela terisak dalam gelap, ia hanya bisa berdoa agar kakaknya baik-baik saja, ia meraih obat yang di belikan sebelum Jo pergi, menggigit sepotong roti lalu memakan obatnya.
Ia merasa sedikit lebih baik, badannya sudah tak terlalu menggigil, namun sakit ditubuhnya masih ia rasakan.
Sh@
Pagi harinya, Jo bergegas pamit kepada Pak Burhan, ia amat berterima kasih atas kebaikannya. Namun sebelum Jo pergi, Pak Burhan memberikan sebuah bungkusan.
“Ini untuk adikmu, bilang hadiah ulang tahun dari Pak Burhan.” Pak Burhan penjaga masjid itu tersenyum arif.
Jo membuka bungkusan itu, sebuah bendera merah-putih yang Nela harapkan. “Te … Te … Terimakasih banyak pak.” Jo merangkul Pak Burhan seraya menangis haru.
“Ya sudah, pulanglah, adikmu menunggumu.”
Setelah mengucapkan terimakasih berulang-ulang, Jo berlari sekuat tenaga, ia tak perduli seberapa capai kakinya berlari, ia ingin cepat sampai di rumah kadus-nya.
Dadanya membuncah karena rasa senang, akhirnya ia bisa mendapatkan hadiah bendera di hari 17 untuk Nela.
“Nela, Nela.” Jo berlari masuk ke rumah kardusnya dengan penuh senyum yang kemudian berganti dengan wajah khawatir. Nela tergujur lemas, sangat lemas, Jo memegang tangan Nela lembut. “Mas sudah pulang?” Tanya Nela dengan suara parau.
Jo mengangguk pelan, mengambil bendera yang tadi dibuangnya ke lantai. “Mas dapat benderanya, kita kibarkan bersama-sama yuk.”
Nela mengangguk pelan, setelah mengganti bajunya, ia dibantu oleh Jo keluar dari rumah untuk mengibarkan bendera bersama.
Jo menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh haru, alam seolah mengerti, angin lembut menggoyang bendera ditiangnya.
Jo berdiri tegap menghadap bendera dengan bangga, Nela bersandar dibahunya, meski sangat sulit untuk berdiri, ia tetap berusaha untuk memberi penghormatan kepada sang saka.
Sedetik kemudian, Nela merasa tubuhnya begitu berat, ia tak kuasa untuk menahannya untuk tetap tegak, ia limbung dan jatuh ke tanah. Jo dengan sigap menangkapnya, memberikan sisa kekuatan yang ia punya ke pada adiknya. “Terimakasih Mas udah kasih Nela hadiah yang indah di hari 17.”
Jo menggeleng, matanya berurai air mata, ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada adiknya. “Jangan tinggalin Mas, Nela.”
“Nela nggak kemana-mana mas, Nela selalu ada di samping mas, di sini.” Kata Nela sambil menunjuk ke dada Jo. “Nela sayang … Mas.”
Kata-kata terakhir yang menyayat hati Jo, Nela pergi meninggalkannya, gerimis turun dari awan mendung, alam ikut bersedih akan adegan yang menyayat hati dari dua anak manusia itu.
“NELAAAA.”
Sh@
The End
Senin, 12 Desember 2011
MINE
BY
MOE DHYVHA
“Ah aku laper banget, Riko, pesenin makanan dong.” April meminta dengan muka dibuat se-imut mungkin.
“Kenapa selalu aku sih yang pesen.” Gerutu Riko.
“Karena kamu cowok.” Seru April dan Antik bersamaan.
“Khah, ya, aku memang selalu kalah, mau pesen apa?” Tanya Riko pasrah.
April dan Antik saling tatap lalu tersenyum puas, mereka bertiga sudah berkawan sejak mereka SD. Dan dari dulu Riko selalu menjadi yang tertindas, karena dia adalah cowok satu-satunya diantara mereka bertiga.
“Oh lihat, itu kak Andrean anak kelas tiga IPA tiga.” Seru April.
“Ya, oh, begitu tampan.” Sambil terus menatap kakak kelas itu.
“He-em.” Timpal April.
“Apalagi kalau dia lagi pake seragam basketnya, he is so cool.” Antik Menatap Andrean dengan penuh perasaan.
“Antik ku yang cantik, hentikan ekspresi lebay seperti itu. Jangan sampai kak Pratiwi tau.”
“Don’t care.” Sanggah Antik.
“Antik cepat hadap ke sini, kak Pratiwi datang tuh.”
April terpaksa harus memaksa Antik untuk menghentikan gaya yang lebay itu demi keamanan bersama. Untung Riko segera datang, jika tidak, Antik akan melakukan hal yang lebih parah lagi.
Sh@
Antik dan April sudah belajar selama dua jam lebih di rumah Antik, tapi Antik tak bisa lepas dari bayang-bayang Andrean, dia benar-benar tergila-gila hingga gila.
“Prastika Yuni Antika, kita sedang belajar sekarang.” April geram juga akhirnya.
“What, oh sorry Pril, I just can’t remove that guy from my mind.”
“Sikapmu itu berlebihan, mending aku pulang dan belajar di rumah.” April beranjak.
“Tunggu Pril, maaf, aku akan berusaha untuk serius sekarang.” Sambil mengerjapkan matanya.
Kali ini Antik bisa berkonsentrasi belajar, ia nggak mau April marah lagi.
Saat April dan Antik sedang berbincang sambil beberes, Ms. Kurniawan masuk dengan membawa beberapa camilan.
Ibu Antik dulunya adalah warga negara Amerika, ia cantik, mata birunya benar-benar menawan dan ia begitu ramah sehingga membuat Mr. Kurniawan yang saat itu sedang kuliah di Amrik pun jatuh cinta, dan akhirnya mereka menikah dan menetap di Indonesia.
Antik memiliki rambut pirang dan mata biru yang indah dari ibunya, serta tubuh yang tinggi seperti ayahnya.
Ms. Kurniawan selalu memakai bahasa Inggris di rumah, mungkin Ms. Kurniawan ingin Antik terbiasa dengan bahasa ibu, meski ia sudah menjadi orang Indonesia dan mahir berbahasa Indonesia.
April sudah terbiasa dengan itu semua dari sejak ia SD, dan karena kebiasaan itu nilai bahasa Inggris di sekolahnya selalu tinggi, sangat menguntungkan.
“You really crush on him, right?” Tanya April.
“Yah, sudah dari dua bulan lalu, aku tau, ia sudah punya pacar.”
“Anak pintar.” Puji April sambil tersenyum lebar. Berharap perasaan itu benar-benar menghilang.
“Kisah ku ini seperti lagunya Taylor Swift, you belong with me.”
“Oh again, kupikir kau akan mundur dan hidup normal kembali.”
“Nggak semudah itu, Antik selalu berusaha untuk mendapat apa yang ia mau, dan nggak gampang menyerah.”
Sh@
Minggu yang cerah, seperti biasanya Antik bangun pagi untuk jogging keliling komplek. Saat ia sampai di depan rumah, ia terheran-heran melihat ada beberapa mobil box yang mengangkut barang-barang, terlihat seperti orang sedang pindahan, tetangga baru, batinnya. Ia melihat momy nya sedang bercakap dengan tentangga baru itu, ia cuek saja dan melenggang masuk, belum sempat ia membuka pintu pagar besi, terdengar suara sang momy memanggil namanya.
“Antik, darling.” Panggil Ms. Kurniawan lembut.
“Ya, mom.”
“Come here for a sec dear.”
Antik mengurungkan niatnya untuk membuka pintu pagar dan menghampiri momy nya.
“Mom mau kenalin kamu ke tetangga baru kita.” Kata Ms. Kurniawan.
“Ini putri anda, wah cantik seperti ibunya.” Seru bu Pranoto.
“Terima kasih lho jeng.” Ms. Kurniawan tersenyum bangga.
“Saya juga mau kenalin anak saya ke jeng.”
“Oh ya, dari tadi saya belum lihat anak jeng.” Seru Ms. Kurniawan.
“Andrean sayang, sini sebentar nak.” Panggil bu Pranoto.
“Ya ma, sebentar.” Jawab sang anak.
Antik terkejut, Andrean, apa mungkin?. Antik lebih terkejut lagi ketika anak yang bernama Andrean itu muncul dari balik pagar, dia Andrean Galih Pranoto kakak kelasnya, mata Antik langsung berbinar bahagia.
“Ada apa ma?” Tanya Andrean.
“Kenalkan ini tetangga baru kita di sini.” Bu Pranoto mengenalkan.
“Andrean tante.” Andrean memperkenalkan diri.
“Handsome boy, oh ini anak tante, Antik.” Kata Ms. Kurniawan.
“Hei, kamu anak kelas dua itu kan?” Seru Andrean yang langsung mengenali Antik.
“Kalian sudah saling kenal rupanya.” Seru Ms. Kurniawan.
“Sebenarnya nggak terlalu kenal sih tante, cuma paham aja, tiap istirahat dia selalu melihat ke arah saya.” Kata Andrean datar.
“Really?” Ms. Kurniawan tertanya sendiri.
Antik cuma bisa tersenyum tipis, mukanya memerah karena merasa ketahuan.
Sh@
Antik merasa sangat beruntung dengan kepindahan Andrean, ia jadi bisa lebih dekat dengan cowok keren itu. Tiap kali momy nya menintanya untuk mengantar sesuatu ke rumah Andrean, ia akan dengan senang hati melakukannya.
“Jadi kamu sekarang udah mulai deket sama kak Andrean?” Tanya April sedikit tak percaya.
“Kami kadang ngobrol jika mom menyuruhku mengantar sesuatu, dan aku bertemu dengannya.”
“Itu kemajuan yang bagus, and what am I saying?” Seru April gembira.
“Come on April, it’s not that bad, aku nggak akan merebut kak Andrean..”
“Ya aku tau, kau selalu berpengang teguh dengan keyakinan mu itu, “He’ll be mine”.” Kata April sambil menirukan gaya Antik.
“Dan biarkan pesona Antik menginjeksi ke dalam hatinya, haha.”
“Here you go again.” Gerutu April.
Sh@
Antik sedang bersantai mendengarkan musik di kamarnya, ia tak harus belajar karena hari ini adalah akhir pekan.
“Antik, dear.” Ms. Kurniawan memanggil dari ruang tengah.
“Ya mom.” Antik langsung keluar dan turun ke ruang tengah. “What’s happen mom?” Tanya Antik.
“Help me, take this cake to Ms. Pranoto.” Pinta Ms. Kurniawan.
Antik segera mengantarkan kue ke rumah Andrean, setelah berbasa-basi dengan bu Pranoto, Antik segera berpamitan.
Saat dia berjalan menuju pintu depan ia mendengar seseorang berbicara dengan nada kesal, penasaran, iseng-iseng Antik mencari asal suara itu, ternyata dari taman di samping rumah itu.
“Udah deh, aku tuh udah capek dengan semua sikap kamu yang seperti anak kecil, egois dan over protektif.”
Ternyata Andrean, dia sedang bicara di telpon, entah dengan siapa.
“Aku bilang aku capek, dan semuanya udah selesai, aku dan kamu udah nggak ada apa-apa lagi. Kita PUTUS!!” Kata Andrean sambil menutup telponnya.
Semalaman ia tak bisa tidur, memikirkan kejadian sore tadi, apa benar yang ia dengar itu. Kak Andrean putus, dan berarti ia sekarang menjomblo.
“I know, soon or later you’ll be mine.” Antik tersenyum girang.
Sh@
Tut.....tut...tut....
Suara alarm dari jam beker digital Antik berbunyi keras, Antik segera mematikan alarm dan bangun, melirik sekilas ke arah jam, pukul 06.00.
“Command Operation, to get his heart.” Antik tersenyum lalu beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap untuk jogging.
Antik melakukan sedikit pemanasan di depan rumah, sebenarnya untuk menunggu Andrean keluar.
“Antik, jogging juga.” Sapa Adrean.
“Iya kak.” Jawab Antik dengan penuh semangat.
“Kalo begitu jogging bareng yuk.” Ajak Andrean.
Antik sangat senang dengan tawaran itu, karena ini tujuannya.
Dari sejak Andrean putus dengan Pratiwi, Andrean jadi lebih sedikit terbuka dengan Antik, lebih mau bercanda dan ngobrol dengan Antik. Kini tiap sore mereka berlari keliling komplek bersama, saling berbagi cerita dan kekonyolan yang mereka lakukan.
Sh@
“Aku perhatiin sekarang kamu lebih sering ngelamun, ah aku tau, pasti lagi mikirin cowok sok keren itu kan?” Tanya Riko tajam.
“Apaan sih, bukan urusan kamu tau.” Antik beranjak dari kursinya dan pergi.
“Ada apa sih dengannya, sensi amat.” Gerutu Riko.
“Karena kamu bilang kak Andrean sok keren.” Timpal April.
“Iiiiuuuuuhhh, menyebalkan.” Riko menirukan gaya Antik.
Antik berjalan sambil terus menggerutu, Riko selalu saja mengganggunya, tiap ia dekat dengan seseorang pasti dia akan mati-matian mengejeknya, menyebalkan.
“Antik?”
Mendengar namanya di panggil, Antik langsung berhenti dan menoleh ke asal suara.
“Kakak?”
“Kamu sedang apa, jalan sambil ngomel-ngomel nggak jelas.” Tegur Andrean.
Antik menghampiri Andrean dan duduk di sampingnya. “Kakak ngapain di dini sendirian?”
“Adik manis, ini kelas kakak.” Andrean tersenyum bijak sambil mengelus kepala Antik.
“Hehe, iya, Antik yang kejauhan jalannya, kelas Antik udah kelewat.” Antik berkata dengan polos.
“Kamu itu lucu, itu yang membuat kakak suka sama kamu.”
Antik sedikit terkejut, suka, kak Andrean bilang dia suka.
Andrean hendak mengucapkan sesuatu ketika bel tanda masuk berbunyi.
“Aku ingin ngomong sesuatu, nanti pulang sekolah kamu tunggu kakak di lapangan basket ya.”
“Ok kak, Antik tunggu sampai kakak datang.”
Setelah bel pulang sekolah Antik buru-buru keluar kelas, ia ingin cepat-cepat bertemu dengan kak Andrean. Setelah memastikan April dan Riko pulang ia langsung ke lapangan basket, takut kalau kak Andrean menunggu terlalu lama.
Sh@
Andrean hendak ke lapangan basket ketika Lili memanggilnya dengan nada cemas.
“Pratiwi pingsan, ia perlu dibawa ke rumah sakit.”
“Tapi aku harus pergi, cari bantuan yang lain saja.” Tolak Andrean.
Tapi Lili terus memaksa Andrean untuk mengantar Tiwi, akhirnya dengan terpaksa ia mengantar Tiwi ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit Andrean berniat untuk kembali ke sekolah dan menemui Antik, namun Lili menahannya lagi, katanya tunggu sampai Tiwi siuman, sudah berjam-jam dan Tiwi tak siuman juga.
“Aku keluar cari makanan dulu.” Kata Andrean datar.
Setelah Andrean pergi, Lili membangunkan Tiwi yang sedari tadi berpura-pura sakit.
“Andrean mana?” tanya Tiwi.
“Lagi keluar sebentar, kau ini pintar ber-acting ya, sampai bisa menipu Andrean.” Puji Lili.
“Biar tau rasa tuh anak kelas dua, siapa suruh gangguin Andrean.”
Brak!!!! Terdengar suara pintu dibuka paksa.
“Kau.” Tanpa kata lagi Andrean langsung berlari keluar, ia harus cepat sampai ke sekolah, Pratiwi kurang ajar.
Sh@
Antik masih terus menunggu, sebenarnya ia sedikit takut, di sini begitu sepi dan dingin, tapi ia harus bertahan.
“Ayo pulang, sampai kapan mau menunggu.” Riko berkata dengan nada sinis.
“Kamu?”
“Aku nungguin kamu di sini dari tadi siang, sekarang ayo pulang.” Riko menarik paksa Antik.
“Lepasin, aku masih mau nunggu kak Andrean.”
“Cowok sok keren itu nggak bakal dateng, dia udah pulang dari tadi siang.”
“Bohong, kak Andrean pasti dateng, lepasin aku Ko, lepasin.”
Antik pingsan ketika ia berusaha berontak, dari siang dia belum makan sama sekali.
“Biar aku aja yang bawa.” Andrean yang baru datang langsung mengambil alih Antik.
“Nggak usah, biar aku saja, HERO.” Kata Riko sinis.
“Biar aku saja.” Andrean sedikit memaksa.
“Aku bilang, LEPASKAN, dan pergi jauh-jauh.” Riko langsung membopong Antik dan membawanya pulang.
Sh@
Momy Antik benar-benar terkejut melihat putri tunggalnya pulang dalam keadaan pingsan, ia sangat berterima kasih kepada Riko yang sudah mengantar Antik pulang, setelah memastikan Antik mendapat perawatan Riko pamit pulang.
Esoknya Antik tak masuk sekolah karena demam, ia harus istirahat, April segera datang setelah pulang sekolah, ia gelisah mendengar kabar Antik dari Riko.
“Antik ku sayang, kamu nggak pa-pa kan.”
“Nggak pa-pa Pril, cuma demam aja kok.”
Mereka berbincang sembari April menyuapi Antik, sedikitnya April sudah mengetahui tentang kejadian kemarin dari Riko, dan ia sedikit marah juga kepada kak Andrean.
“Sweetie, Andrean is here.” Ms. Kurniawan memberi tahu.
“Come in mom.”
“Aku keluar dulu kalau begitu.” Pamit April.
Andrean masuk dengan ragu, ia amat merasa bersalah karena kejadian kemarin ini semua gara-gara Pratiwi.
“Gimana keadaan kamu?” Tanya Andrean pelan.
“Udah baikan kak.”
“Aku minta maaf, karena aku kamu jadi seperti ini.”
“Ah nggak pa-pa kok kak, oya katanya mau ngomong sesuatu.”
“Oh, itu, ee, gimana ngomongnya ya.”
“Kakak udah balikan lagi sama kak Tiwi?”
“Nggak akan. Dari awal aku nggak suka sama dia, dari awal yang aku suka itu kamu.”
Antik sedikit terkejut, mungkin dia salah dengar ketika ia kira ia mendengar Andrean bilang suka padanya.
“Terus, kenapa kakak mau jadi pacar kak Tiwi?”
“Karena Pratiwi memaksa, aku nggak punya pilihan lain, ia selalu mengancam mau bunuh diri jika aku nggak mau.”
“Terus kenapa kakak pura-pura nggak kenal sama aku?” Antik terus bertanya, ia sedang melayang sekarang.
“Karena aku, nggak mau Pratiwi jahatin kamu.”
“Terus, kenapa...” Antik tak melanjutkan kata-katanya, Andrean memberikan kecupan ringan di keningnya, dan Antik merasa melayang.
“Terus, sekarang aku mau bilang, I love you pretty girl.”
Antik begitu bahagia, akhirnya Andrean jadi miliknya, ia merasa tersanjung ketika Andrean bilang cinta. Sekarang Antik lega, dia bisa mengatakan kepada seluruh dunia, He is mine now, just mine.
Sh@
Senin, 21 Februari 2011
I have no idea
I've trying everything with my best ...
all being nothing ...
nothing ...
and nothing ...
HUMFT!!!!!
I'm exhausted, angry and very tired .... gosh .....
somebody please get me.....
Selasa, 08 Februari 2011
one pieces of my heart are hurt
They have a boyfriend who always can count on, care about them and always protect them from hurt, that's what's I imagine about.